Oleh:
Agung Wardana
Sudah dapat diperkirakan sebelumnya, bahwa Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali akan merugikan pihak yang berkepentingan (investor). Gelagat ini sudah dapat dilihat mulai dari bersatunya para bupati/walikota untuk menghadang pengesahan ranperda hingga saat ini memasuki babak perang terbuka di ranah hukum, yakni Mahkamah Agung (MA).
Sebagai mantan anggota tim 22 (tim pengakaji naskah akademik dan Ranperda RTRWP Bali) yang terlibat dalam perumusan, penulis merasa perlu angkat bicara. Sekaligus, menggugat ingatan kolektif masyarakat Bali berkaitan dengan latar belakang, proses dan substansi dari perda ini. Dengan demikian, masyarakat Bali tidak terkena amnesia akibat candu yang disuntikkan oleh para investor dengan gencarnya.
Kebutuhan Daerah dan Mandat Nasional
Pada April 2007, Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai aturan tentang penataan ruang baru yang belaku secara nasional. Dalam aturan tersebut dimandatkan bahwa pemerintah provinsi menyusun aturan daerah terkait dalam jangka waktu dua tahun. Artinya pada 2009, pemerintah provinsi termasuk juga Provinsi Bali harus memilki aturan tantang perencanaan tata ruang yang baru.
Bersamaan dengan itu, pertengahan 2009 diwarnai dengan begitu banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan tata ruang daerah. Misalnya, kasus pembangunan villa di Uluwatu, Badung; Rencana Hotel di kawasan Lindung Bukit Mimba, Padang Bai, Karangasem; Hotel tak berijin yang melanggar sempadan pantai di Pantai Kelating, Tabanan; Proyek villa di dalam Taman Wisata Alam (TWA) Hutan Dasong Danau Buyan-Danau Tamblingan, Buleleng.
Berbagai protes dilancarkan oleh kelompok pecinta lingkungan, masyarakat dan media terhadap proyek-proyek infrastruktur pariwisata diatas yang jelas melanggar Perda No. 3 Tahun 2005. Selain itu, mereka juga meminta kepada Gubernur Bali yang baru dilantik, Made Mangku Pastika, mengambil tindakan dalam rangka penegakkan aturan dalam perda.
Gubernur Bali saat itu menilai ada kelemahan pada Perda No. 3 Tahun 2005 tentang RTRWP Bali. Selain permasalahan sulitnya penerapan sanksi yang dianggap ringan, Gubernur juga khawatir dengan tiadanya sanksi terhadap pejabat yang mengeluarkan ijin. Pemerintah Provinsi Bali pun akhirnya memutuskan bahwa harus segera melakukan revisi terhadap Perda No. 3 tahun 2005 dengan guna memperbaiki kelemahannya. Rencana revisi pun berganti menjadi membuatan rancangan perda tata ruang yang baru.
Dinamika Pembahasan Ranperda
Pada Februari 2009, untuk pertama kalinya Pemerintah Provinsi Bali mengundang segenap komponen masyarakat dalam mendiskusikan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) RTRWP Bali versi pertama. Bertempat di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bali, proses pembahasan diwarnai dengan perdebatan terkait substansi ranperda yang dianggap berpihak pada investasi pariwisata.
Dalam diskusi publik ini kemudian disimpulkan bahwa renperda harus diperbaiki sehingga tidak memunculkan celah bagi pelanggaran adan ekspansi modal pariwisata. Serta tidak mengakomodir kepentingan untuk melakukan pemutihan terhadap pelanggaran yang telah terjadi. Berbekal kesimpulan ini, Pemerintah Provinsi Bali pun meminta waktu untuk melakukan penyempurnaan atas ranperda yang dimaksud.
Pada April 2009, pemerintah melalui Sekretariat Daerah (Sekda) Bali mengadakan sosialisasi Ranperda versi kedua kepada masyarakat di Wisma Sabha, Kantor Gubernur Bali. Dalam sosialisasi, kembali berbagai masukan disampaikan oleh perwakilan masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang hadir dan mendorong perbaikan ranperda. Paradigma ranperda versi pertama dan kedua tidak berbeda sama sekali, sehingga memunculkan pertanyaan tentang analisa kondisi Bali dan pembangunan skenario-nya dalam Naskah Kajian Akademik.
Setelah mempelajari Catatan Atas Naskah Kajian Akademik dari FPGB dan masukan dari berbagai kompen masyarakat lainnya, Gubernur Bali melalui Bappeda Bali membentuk sebuah tim yang bertugas untuk mengkaji Naskah Kajian Akademik dan Ranperda RTRWP Bali. Tim yang dibentuk ini diberi nama Tim Evaluasi NKA dan Ranperda RTRWP Bali, beranggotakan 22 orang (Tim 22) berasal dari akademisi, organisasi profesi perencana, tokoh masyarakat dan LSM ditambah anggota Badan Kordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Bali.
Proses perumusan yang tidak kenal lelah dan dilangsungkan secara terbuka untuk dipantau oleh media massa, akhirnya Ranperda dapat dihasilkan. Perjalanan Ranperda ini pun berlanjut hingga ke tingkat legislatif. Komponen masyarakat sipil pun memberikan dukungan melalui forum rembug Krama Bali untuk Tata Ruang Bali yang Lebih Adil. Setelah beberapa mengalami perbaikan dan masukan dari pemerintah pusat, kemenangan pun tidak dapat tertahankan bahwa untuk pertama kalinya di Bali, perda dibuat dengan proses yang sangat terbuka dan partisipatif.
Kebanggaan ini belum termasuk substansi-nya yang sangat akomodatif dan memiliki orientasi jauh kedepan yakni menyelamatkan Bali. Sejauhmana hal itu diatur dalam Perda RTRWP Bali, penulis akan mengulasnya dalam artikel berikutnya.
Penulis, aktivis lingkungan,
mantan anggota Tim Pengkaji NKA dan Perumus Ranperda,
sedang belajar di University of Nottingham
Leave a Reply