Oleh
Agung Wardana, SH, LLM
Fenomena latah untuk menggunakan istilah-istilah yang dianggap trend dan bisa menaikkan citra sepertinya masih saja menjangkiti. Mulai dari istilah ‘pembangunan’ (development) yang dipopulerkan paska Perang Dunia Kedua kemudian diadopsi oleh Orde Baru untuk menjadi mantra yang tidak boleh dibantah oleh rakyat. Kemudian sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio dilanjutkan lagi dengan istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ (sustainable development) yang berambisi untuk mendamaikan pertumbuhan ekonomi, tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan.
Kenyataannya, dua puluh tahun sudah konsep pembangunan berkelanjutan namun justru keadaan bumi lebih mengarah pada penghancuran sistemik. Permasalahan perubahan iklim misalnya, semua sepakat bahwa perubahan iklim adalah masalah terbesar peradaban kita saat ini. Tetapi ketika memasuki meja perundingan, perubahan iklim tidak lebih dari sekadar barang dagangan untuk menciptakan kesempatan baru dalam mendatangkan keuntungan lewat perdagangan karbon. Seiring meredupnya jargon pembangunan berkelanjutan, jargon baru pun lahir menggantikannya. Pertanyaannya kemudian adalah mampukah jargon baru itu dapat memperbaiki keadaan saat ini?
Dari Green Economy Hingga Oksimoron Bahasa
Saat ini, setiap hari kita disuguhkan dengan jargon pengganti sustainable development yakni, green (hijau). Di tingkat internasional sendiri, saat ini sedang digodok green economy (ekonomi hijau). Konsep ekonomi baru ini rencananya akan dirundingkan pada KTT Rio+20 di Brazil, Juni tahun ini, untuk menjadi landasan pembangunan ekonomi dunia. Kelahiran konsep ekonomi baru ini bermaksud untuk menunjukkan citra bahwa kapitalisme yang selama ini menjadi penyebab kerusakan lingkungan telah mulai jinak dan memasukkan agenda-agenda pelestarian di dalam hitungan-hitungan ekonomi.
Namun banyak orang meragukan bahwa kapitalisme telah menjadi jinak. Yang justru terjadi adalah kapitalisme sedang mencoba meng-uang-kan segala aspek kehidupan, dengan jalan menilai ‘harga’ dari jasa layanan bumi. Banyaknya proyek-proyek yang prospektif secara ekonomis namun ditolak oleh masyarakat sekitar dengan alasan bahwa lingkungan hidup dan sumber daya alam sekitar merupakan sendi-sendi kehidupan, model ekonomi hijau mendorong skema ‘willingnes to pay’ (kesediaan untuk membayar). Dalam skema ini masyarakat yang menolak sebuah proyek akan diminta untuk menilai berapa mereka berani membayar jasa layanan lingkungan dan sumber daya alam yang ada. Selanjutnya, perusahaan akan melakukan negosiasi berdasarkan besaran harga yang diberikan oleh masyarakat tersebut. Alhasil, permasalahannya beralih dari mempertahankan ruang hidup menjadi negosiasi sejumlah uang.
Di Bali sendiri kemunculan istilah ‘green’ ini bisa ditarik mundur sejak Pertemuan Para Pihak tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 lalu. Gandrung terhadap jargon termutahir tersebut, mulailah banyak hal dilabelkan ‘green’ dalam arti ramah lingkungan, misalnya green province (provinsi hijau), green campus (kampus hijau), dan bentuk green-green lainnya. Oksimoron-oksimoron bahasa pun bermunculan misalnya green hypermarket (hipermarket hijau), green mining (pertambangan hijau), ataupun green tourism (pariwisata hijau). Artinya, pelabelan ramah lingkungan pada hal-hal yang selama ini menyebabkan kerusakan lingkungan merupakan sebuah kesesatan berpikir.
‘Green’ Sebagai Paradigma Politik
Nampaknya, istilah ‘green’ yang muncul dari proses sejarah yang panjang menjadi kehilangan makna sebenarnya. Hal ini dikarenakan oleh semakin rancu dan mudahnya orang menggunakan label tersebut untuk meningkatkan citra untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki keasadaran lingkungan. Meskipun jika dilihat lebih dalam kesadaran ini hanya baru sebatas kesadaran semu melalui proyek-proyek serimonial, seperti menanam pohon, bersih sampah plastik, hingga menebar benih ikan.
Sejatinya, ‘green’ (hijau) pada awalnya merupakan paradigma politik yang memiliki empat pilar yang tidak dapat dipisahkan. Pilar tersebut adalah ecological wisdom (kebijaksanaan ekologis), social justice (keadilan sosial), non-violence (tanpa kekerasan), earth democracy (demokrasi bumi). Singkatnya, keberlanjutan lingkungan hidup tidak mungkin terwujud tanpa adanya kebijaksanaan dalam menggunakan sumber daya alam, keadilan sosial, kondisi yang damai dan tanpa kekerasan, serta demokrasi langsung ditingkat akar rumput.
Prinsip-prinsip ini yang menjadi dasar bagi gerakan lingkungan hidup dan juga partai-partai hijau di dunia. Mereka percaya bahwa kehancuran lingkungan hari ini merupakan dampak dari sistem ekonomi politik dominan. Sehingga mau tidak mau sistem ekonomi politik ini haruslah diintervensi karena sistem ini telah melahirkan konflik sosial, oligarki ekonomi dan politik, dan pemerkosaan terhadap bumi demi akumulasi keuntungan di tangan kelas berkuasa. Sedangkan rakyat terus menerus harus merasakan ketidakadilan lingkungan lewat penggusuran, peminggiran ke kawasan yang tidak sehat dan juga menjadi penonton ditengah gemerlapnya pembangunan.
Bali ‘Clean and Green’ Minus Keadilan
Dalam konteks Bali, misalnya, siapa yang tidak sepakat bahwa lapangan golf yang dibuat oleh BNR di Tanah Lot nampak bersih (clean) dan lestari (green)? Siapa yang tidak yakin bahwa proyek kontroversial Bali International Park (BIP) juga kelak akan dapat menyandang pridikat clean and green? Namun, mungkin banyak orang akan ragu apakah terdapat kebersihan dan kelestarian saja cukup tanpa adanya kedamaian demokrasi langsung dimana setiap orang memiliki hak dalam pengambilan keputusan yang strategis menyangkut ruang hidupnya.
Selain itu, tanpa keadilan, proyek kelestarian dan kebersihan hanya akan melahirkan penggusuran dan peminggiran baru masyarakat lokal. Selama ini merekalah yang dianggap tidak memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian dan kebersihan Bali. Sehingga solusi yang ditawarkan penguasa adalah sentralisasi kepemilikan kawasan-kawasan strategis ditangan korporasi atau kelompok elit kaya raya yang dipercaya memiliki cukup modal dan mempermudah proyek untuk menjaga kelestarian dan kebersihan kawasan. Hal ini mirip dengan tesis Garrett Hardin dalam The Tragedy of the Commons, bahwa rejim hak milik (privat) dibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam publik sehingga lebih efesien karena publik dianggap tidak memiliki kesadaran untuk menjaganya.
Jadi permasalahan lingkungan merupakan permasalahan yang kompleks yang melibatkan banyak aspek dalam kehidupan, terutama urusan politik ekonomi, sosial-budaya, dan kebijakan. Jika saat ini istilah green direduksi dan dimoderasi menjadi konsep yang apolitis maka dapat dibayangkan bahwa konsep green ini tidak akan mampu menjawab kompleksitas permasalahan yang terjadi. Paling hebat, konsep ini hanya dapat menyediakan solusi parsial dan teknokratis untuk jangka pendek dan terkadang tidak humanis. Apabila Bali tetap bertahan pada model ‘clean and green’ yang serimonial tanpa merubah struktur pembangunan, maka dapat diperkirakan bahwa proyek Bali clean and green hanya akan menjadi jargon untuk ikut trend dan mengangkat citra semata tanpa merubah apa-apa. Dan, jargon ini pun segara akan tergantikan oleh jargon-jargon lainnya di masa mendatang.
Advokat dan Penulis Bebas Merdeka,
Alumnus University of Nottingham, Inggris
Leave a Reply