Oleh:
Agung Wardana
Jalanan, terutama di pusat kota, makin hari makin macet dan amburadul. Selain itu, kontribusi kendaraan bermotor terhadap rendahnya tingkat kesehatan dan kenyamanan warga kota juga tidak bisa dimungkiri lagi. Di sisi yang lain, pajak kendaraan bermotor menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi pemerintah daerah. Sungguh sebuah pilihan yang harus segera diambil. Idealnya, pemerintah tidak mengorbankan kesehatan dan kenyaman warga kota hanya demi meningkatkan pendapatan daerah.
Harian ini beberapa waktu lalu menurunkan berita mengenai rencana Pemerintah Daerah Bali untuk merancang terwujudnya transportasi umum yang murah dan nyaman guna mengatasi kemacetan. Tahun 2010 ini dirancang angkutan bus Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) sebanyak 25 buah. Dari 17 trayek yang disiapkan, tahap awal dirintis tiga trayek yakni Batubulan – Nusa Dua, Batubulan – Bandara Ngurai Rai dan Lapangan Puputan Badung – GWK. Tiga trayek ini disasar paling awal karena termasuk ruas jalan paling macet.
Uji coba bus Sarbagita ini direncanakan sudah bisa dilaksanakan mulai Oktober-November 2010. Sebab, dengan angkutan bus yang lebih murah diyakini masyarakat lambat laun bisa beralih pada angkutan umum.
Kemacetan lalu lintas di Denpasar dan Badung memang sudah parah. Di bunderan Simpang Dewa Ruci kemacetan diakibatkan kebanyakan kendaraan pribadi yang lewat hanya bermuatan 1-2 orang. Sementara solusi jalan layang di kawasan itu hingga saat ini masih ditolak masyarakat karena tak akan menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas secara keseluruhan.
Bahkan, jalan layang dinilai hanya memecahkan kemacetan lalu lintas di satu titik. Begitu ada kemacetan lalu lintas di jalur lain ada keinginan membangun jalan layang di tempat itu. Kondisi inilah yang dikhawatirkan akan membuat Bali kehilangan aura kesucian dan keindahan.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, setiap dua orang di Bali memiliki satu kendaraan bermotor. Jadi tidak mengherankan jika jalanan, terutama di pusat kota, makin hari makin macet dan amburadul. Selain itu, kontribusi kendaraan bermotor terhadap rendahnya tingkat kesehatan dan kenyamanan warga kota juga tidak bisa dimungkiri lagi. Di sisi yang lain, pajak kendaraan bermotor menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi pemerintah daerah. Sungguh sebuah pilihan yang harus segera diambil. Idealnya, pemerintah tidak mengorbankan kesehatan dan kenyamanan warga kota hanya demi meningkatkan pendapatan daerah.
Sekarang atau Terlambat
Rencana pemerintah daerah untuk mengembangkan transportasi massal di wilayah Sarbagita, memang patut diapresiasi. Hal ini merupakan sebuah usaha untuk menjawab akar permasalahan kemacetan di Denpasar, membludaknya kendaraan bermotor. Karena selama ini pendekatan yang dilakukan pemerintah lebih banyak menggunakan model konvensional yakni membangun jalan-jalan baru. Sudah tentu model ini telah usang karena makin mengorbankan kawasan produktif, merangsang bertambahnya kendaraan, dan meningkatkan angka kecelakaan.
Namun, jawaban lewat pengembangan trasportasi massal ini tidak akan berjalan optimal tanpa adanya upaya yang sistematis dan terintegrasi dengan upaya-upaya yang lain. Salah satunya adalah pengaturan jumlah kendaraan bermotor di Bali sesuai dengan daya dukung infrastruktur yang ada. Mengingat membludaknya kendaraan bermotor disebabkan oleh ketiadaan pengaturan. Untuk mengaturnya, dapat dilakukan dengan pemberian pajak progresif terhadap mobil pribadi berkapasitas besar, dan juga mobil mewah.
Selain kebijakan untuk mengatur jumlah kendaraan pribadi, usaha lain yang harus dilakukan adalah diversifikasi sarana angkutan. Misalnya sepeda dan dokar sebagai salah satu sarana angkutan yang bersih dan ramah lingkungan untuk wilayah perkotaan. Maka dibutuhkan pengembangan infrastruktur sepeda dan dokar begitu juga dengan pedestrian yang layak, sehingga dapat menunjung keberadaan bus Sarbagita yang direncanakan.
Pendekatan tersebut bersifat teknis aplikatif belaka. Sementara itu, pendekatan teknis ini harus didukung oleh pendekatan politis substansial (ideologis). Memanusiakan wajah kota kita adalah roh yang harus menjiwai kebijakan ini. Karena selama ini wajah kota kita lebih mengakomodir kepentingan kendaraan pribadi, dengan penyediaan parkir, jalan yang mulus, sarana prasarana jalan daripada kepentingan manusianya sendiri.
Saat ini, kendaraan pribadi, khususnya mobil, bukan saja sebagai alat pemuas kebutuhan manusia akan mobilitas. Namun telah menjadi sebuah identitas dan citra yang menentukan kelas sosialnya. Sehingga orang berlomba-lomba untuk memiliki mobil untuk memperlihatkan tingkat kesuksesan di hadapan lingkungan sosialnya. Jika kita belajar dari Jakarta yang telah mengembangkan transportasi massal, busway, salah satu penyebab kegagalannya adalah faktor pencitraan ini. Maka, apabila faktor pencitraan ini tidak mampu dipatahkan oleh transportasi massal, orang akan tetap saja memilih untuk memiliki kendaraan pribadi.
Walaupun demikian, kebijakan ini memang harus segera dilakukan sebelum semuanya terlambat. Mengingat, Bali belum begitu krodit jika dibandingkan dengan Jakarta saat memulai pengembangan busway. Di samping itu, pengembangan transportasi massal adalah salah satu mandat Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali yang baru-baru ini disahkan. Jadi konsistensi untuk menjalankan aturan yang telah dibuat adalah mutlak dibutuhkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.
Penulis, aktivis Walhi Daerah Bali
telah dipublikasikan oleh Bali Post
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=7&id=3168
Leave a Reply