Membaca Kerja Kapitalisme di Teluk Benoa

Membaca Kerja Kapitalisme di Teluk Benoa
Oleh
Agung Wardana
Sejak permulaan abad dua puluh satu perekonomian Asia Pasifik ditandai oleh dua fenomena besar. Yang pertama adalah booming tambang di Australia yang ditandai dengan investasi besar-besar di bidang pertambangan akibat meroketnya harga produk tambang dunia. Meski banyak pihak telah menyatakan bahwa booming tambang di Australia telah usai, namun dampaknya terhadap perekonomian domestik dan regional masih tetap dapat dirasakan. Melonjaknya biaya hidup di Australia termasuk properti menyebabkan para pekerja tambang semakin makmur kemudian mencari alternatif ‘rumah kedua’ untuk peristirahatan yang tentu lebih mura dari pada tinggal di Australia.
Fenomena kedua adalah kemunculan kelas menengah di China. Paska reformasi ekonomi yang dicanangkan oleh Deng Xiaoping tahun 1979, China melesat menjadi salah satu raksasa perekonomian dunia. Alhasil, kelas menengah dengan karakter konsumtif-nya terus bermunculan dan diperkirakan akan berjumlah melebihi 600 juta orang pada tahun 2020-an. Sungguh angka yang signifikan yang bisa mengubah pola produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa tidak saja di regional Asia tetapi secara global. Saat ini saja, China merupakan tujuan ekspor terbesar bagi produk tambang Australia. Bagi Indonesia, China merupakan pasar terbesar batubara dan minyak kelapa sawit.
Apa hubungan kedua fenomena tersebut dengan rencana mengembangkan pariwisata model baru di atas pulau (koloni) buatan di kawasan Teluk Benoa, Bali?
Sirkuit Modal Ekonomi dan Politik
Sejak di era kolonial, Bali merupakan arena pertarungan di mana kekuatan baik internal dan eksternal memainkan kepentingannya. Setelah peristiwa Puputan Badung yang merusak citra pemerintah kolonial, penjajahan atas Bali dilakukan menggunakan pendekatan yang berbeda. Salah satunya melalui proyek ‘Balinisasi’ (Baliseering) dikembangkan untuk membuat orang Bali mencintai dirinya sendiri sehingga diharapkan bisa menghadang ide-ide asing seperti nasionalisme, kristenisasi dan islamisasi.
Bali juga dilabelkan sebagai ‘pulau surga’ untuk mengundang para peneliti dan pelancong dan mengapresiasi budaya lokal. Marketing ini telah sampai pada titik di mana budaya lokal tersebut sulit dipisahkan dari budaya pariwisata. Nampaknya, pemerintah paska kolonial di Indonesia juga melanjutkan politik yang dikembangkan Kolonial Belanda di atas. Misalnya, posisi Bali sebagai pemberi citra budaya nusantara juga digunakan oleh Soekarno dalam membangun soft power dalam hubungan internasional.
Jika di awal Indonesia modern modal simbolik Bali memainkan perannya secara politis, namun sejak Orde Baru modal simbolik ini berangsur-angsur dikemas pula sebagai modal ekonomi secara dominan. Bali menjadi pusat sirkulasi modal ekonomi melalui pembangunan industri pariwisata. Mengikuti struktur pemerintahan yang sentralistik sirkulasi modal ini pun berpusat dalam lingkaran Soeharto dan kroninya (penguasa Jakarta) sehingga era ini Bali disebut sebagai ‘Koloni Jakarta’. Kejatuhan Soeharto yang menandai era reformasi peta perputaran modal di Bali menjadi jauh lebih kompleks akibat kembalinya model pemerintahan ‘raja-raja kecil’ dan para pengejar rente. Mereka sangat antusias dalam mendorong dan meluaskan investasi pariwisata melampaui rencana yang ditetapkan Sceto di awal 1970an.
Kebijakan Koridor Ekonomi di Teluk Benoa
Kebijakan koridor ekonomi merupakan skema lanjutan di era SBY untuk meluaskan dan pengembangkan sirkulasi modal ekonomi secara lebih efisien. Melalui pembagian kerja (division of labour) setiap kawasan didesain menjadi ruang investasi secara spesifik. Bali masih didesain untuk mengemban tugas sebagai pusat pengembangan ekonomi pariwisata dengan NTB dan NTT sebagai sistem pendukungnya. Bagi perekomian regional Asia Pasifik, kebijakan koridor ekonomi menjadikan Indonesia sebagai peta jalan memuluskan investasi dan reinvestasi kelebihan modal (surplus capital) kapitalisme nasional, regional maupun global.
Dalam konteks regional, kelebihan modal akibat akumulasi keuntungan perusahaan tambang Australia dan industrialisasi ekonomi China harus kembali diinvestasikan. Hal ini menandai corak produksi kapitalisme yang harus terus berkembang dengan menyuntikkan modal lebihnya ke ruang dan waktu yang lain guna mencari ‘spatial fix’ (solusi keruangan) dan ‘temporal fix’ (solusi temporal) dalam menghindari krisis. Pariwisata dipercaya sebagai salah satu solusi spasial (keruangan) dan temporal yang termudah. Karena infrastruktur pendukung pariwisata baru dapat terus dibangun sehingga nantinya bisa menyerap kelebihan uang para kelas menengah yang membutuhkan ‘taman rekreasi’ baru.
Pada titik inilah rencana pembuatan pulau ‘koloni’ baru melalui reklamasi di Teluk Benoa menjadi relevan. Saat ini kelas menengah China mulai mencari taman bermain dan berjudi alternatif selain Makao dan Singapura. Nyatanya, memang Bali semakin dibanjiri turis China hingga mampu menggeser posisi turis Eropa di ranah statistik. Di sisi yang lain, para pekerja tambang Australia mencari ‘rumah kedua’ yang lebih nyaman dan masih melihat Bali sebagai taman belakang (back yard) yang cukup menjanjikan. Intinya, mereka punya uang yang harus dikeluarkan sebelum mengendap dan menjadi krisis di dalam negeri akibat daya beli yang tinggi namun berbanding terbalik dengan ketersediaan komoditas di pasar domestik.
Kelebihan uang kelas menengah China dan akibat booming tambang Australia ini harus terus menerus diputar. PT. TWBI dan perusahaan sejenis yang saling berkompetisi untuk menguasai Teluk Benoa mengetahui betul hal ini. Pulau yang dibangun di Teluk Benoa ingin dijadikan ruang untuk menjadi sirkuit kelebihan uang tersebut secara temporal sebelum dikembalikan dengan investasi baru ke negeri asalnya melalui proses yang kompleks. Jikalaupun ada yang mengendap secara lokal, paling hanya berupa recehan sisa belanja dan gaji pekerja lokal.
Proyek ini tidak berdimensi ekonomi semata namun juga berpengaruh pada kondisi sosial dan lingkungan. Dari sejarah investasi dalam setiap kajian AMDAL di Indonesia, dampak lingkungan dari sebuah proyek selalu saja bisa dikelola secara teknis apalagi investor memiliki cukup uang melakukannya. Sedangkan dampak sosialnya memiliki kompleksitas tersendiri untuk dikelola secara teknis. Salah satunya adalah ekslusi sosial atau hilangnya kendali masyarakat lokal atas masa depan Bali karena citra Bali akan dikendalikan oleh segelintir elit kapitalis yang berkuasa atas Bali.
Selain itu, corak produksi lokal misalnya sebagai nelayan dan petani akan tergusur dan terintegrasi dalam kapitalisme industri pariwisata. Mereka akan tergantung dari keberlanjutan kapitalisme sebagai pekerja kasar dan kehilangan kebebasan dan kemanusiaan yang mereka rasakan ketika masih menjadi nelayan dan petani. Jadi proyek di Teluk Benoa merupakan politik ekonomi lanjutan untuk menghancurkan sendi ekonomi lokal guna sepenuhnya mengabdikan diri pada sistem kapitalisme. Perlawanan atas rencana pembuatan pulau baru di Teluk Benoa seharusnya merupakan episode kecil melawan kapitalisme.
Kandidat Doktor
Murdoch University, Australia


Telah dipublikasikan di Harian Indoprogress pada 10 Maret 2014

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *