Oleh
Agung Wardana
Perbicangan perubahan iklim yang berlangsung di COP 16 Cancun, Mexico, hampir berakhir dan tetap mengarah jelas pada sebuah regime yang berpihak pada pasar. Solusi-solusi yang coba ditawarkan dalam konferensi internasional terkait perubahan iklim tak ubahnya ajang transaksi pasar komoditas namun minus komitmen pengurangan emisi yang mengikat secara hukum.
Nampaknya, dibutuhkan sebuah cara baru dalam melihat permasalah perubahan iklim. Sebuah perspektif hak asasi manusia dapat memberikan warna tersendiri dalam konstalasi perubahan iklim meskipun saat ini masih berkutat dipinggiran. Dengan demikian, penting untuk melihat sejauh mana perspektif ini efektif merubah determinisme ekonomi dalam isu iklim dan memastikan bahwa keselamatan rakyatlah yang utama.
Hak Asasi Manusia dan Perubahan Iklim
Tidak lagi dapat dipungkiri bahwa kenaikan suhu bumi yang terus berlanjut berakibat pada terhambatnya pemenuhan hak asasi manusia maupun agenda MDGs. Menurut WHO, perubahan iklim menyebabkan kematian sekitar 150.000 orang setiap tahunnnya yang berkorelasi pada naiknya insiden diarrhoea, malaria dan malnutrisi.
Panel Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memprediksi perubahan iklim akan memperparah krisis air yang dialami lebih dari jutaan orang umumnya di belahan Afrika dan Asia. Begitu pula halnya dengan krisis pangan akan diderita oleh sekitar 150-550 juta orang (Stern 2007). Hal ini belum termasuk dampak terhadap pengungsian orang-orang di pulau kecil dan pesisir pantai akibat naiknya permukaan air laut seperti yang sedang dialami oleh masyarakat Tuvalu di Pasifik. Maka jelas, perubahan iklim akan menjadi salah satu hambatan terbesar bagi setiap negara dalam melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia warga negara-nya.
Meneropong Perubahan Iklim melalui HAM
Untuk pertama kali kacamata hak asasi manusia digunakan pada isu perubahan iklim oleh Masyarakat Adat Inuit. Kelompok yang mendiami wilayah Antartika dibelahan Amerika Serikat, Kanada, Rusia hingga Norwegia ini mengajukan sebuah petisi guna menggugat pemerintah AS di Komisi HAM Amerika.
Dengan dasar argumentasi kontribusi pelepasan emisi gas rumah kaca terbesar dan ketiadaan political will dari pemerintah Amerika Serikat (AS), Komunitas Inuit menyatakan bahwa AS telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak sosial, ekonomi, budaya dan hak-hak kolektif masyarakat adat seperti hak penentuan nasib sendiri dan keadilan antar generasi. Orang Inuit yang menggatungkan hidupnya pada lempengan es yang menutupi Antartika untuk tempat tinggal, berburu dan melakukan beraktivitas menjadi kehilangan penghidupannya seiring dengan mencairnya lempengan es dikawasan adat mereka.
Setelah berhasil membuat Komisi HAM Amerika mengadakan tribunal dalam merespon petisi Masyarakat Inuit, inovasi untuk mengawinkan isu perubahan iklim dengan hak asasi manusia kemudian menggelinding menjadi bola salju. Selanjutnya, Komisi HAM PBB pada 2008 mengeluarkan resolusi nomor 7/23 tentang Perubahan Iklim dan Hak Asasi Manusia.
Sebelumnya, Aliansi Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS) yang menjadi garda terdepan korban perubahan iklim mengeluarkan pernyataan keras bernama “Male Declaration on Human Demension of Global Climate Change”. Deklarasi pada 2007 ini pada dasarnya menekankan pada pentingnya mempertimbangkan hak-hak rakyat yang terkena dampak perubahan iklim.
Urgensinya cara pandang hak asasi manusia dalam menjawab permasalahan perubahan iklim ditekankan oleh Nicholson dan Chong (2009). Cara pandang ini dianggap memberikan manfaat karena memfokuskan dampak perubahan iklim pada manusia, seperti hak atas kehidupan, pangan, kesehatan, perumahan dan budaya.
Disamping itu, perluasan konteks perubahan iklim juga menjadi kekuatan dari perspektif ini. Perubahan iklim merupakan dampak dari akumulasi emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh negara maju (Annex 1) sejak Revolusi Industri. Jadi sudah seharusnya negara-negara inilah yang bertanggung jawab berdasarkan sejarah dan besaran kontribusi mereka terhadap permasalahan iklim.
Berikutnya, kacamata hak asasi manusia dalam perubahan iklim tidaklah memisahkan antara urusan politik dan hukum melainkan justru menggabungkannya. Hal ini menjawab sebuah realitas bahwa hukum internasional sebenarnya lahir dari perundingan politik antar negara berdaulat.
Dengan demikian hak asasi manusia dapat dijadikan alat advokasi politik “naming and shaming” untuk menekan negara maju mengambil tanggungjawab. Karena selama ini pendekatan hukum internasional sangat lemah dan sering kali didikte oleh kepentingan negara yang berkuasa maupun para pelobi perusahaan besar.
Upaya Domestik
Terlepas dari perdebatan sengit di tingkat internasional, nampaknya jalan yang termudah yang bisa diambil adalah lewat kebijakan domestik. Indonesia yang mengakui diri sebagai negeri yang menghormati hak asasi manusia sepatutnya mulai mengambil langkah realisasi dari resolusi PBB tersebut. Selain itu, sebagai negeri kepulauan, Indonesia menjadi salah satu bangsa yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dan kebijakan internasional terkait.
Nampaknya, Komnas HAM dapat memainkan peran untuk mengakui keterkaitan antara perubahan iklim dan pemenuhan hak asasi manusia ditingkat nasional. Sekaligus juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghormati hak asasi manusia baik dalam kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim maupun jaminan terhadap akses informasi, partisipasi dan keadilan bagi para korban perubahan iklim.
Hal ini mengingat dengan giatnya pemerintah menarik perhatian dunia internasional dalam isu perubahan iklim. Misalnya, dalam perundingan Copenagen pemerintah Indonesia berkomitment untuk menurunkan emisi sebesar 26 % dan siap melaksanakan program REDD+partneship (pengurangan emisi dari sector kehutanan), Clean Development Mechanisms (CDM/mekanisme pembangunan bersih) dan kebijakan perubahan iklim lainnya.
Akibat kebijakan melalui pendekatan top-down yang sarat dengan kepentingan para pemkarsa tersebut, tidak mustahil jika program-program ini akan bergesekan dengan pemenuhan hak asasi manusia. Perlindungan terhadap kelompok rentan terkena dampak kebijakan seperti masyarakat adat, masyarakat pinggiran hutan, perempuan dan anak adalah sebuah keharusan. Hal ini merupakan tanggung jawab negara, pemerintah, apalagi yang sedang bergairah mendatangkan pundi bantuan internasional terkait perubahan iklim.
Aktivis Lingkungan,
Sedang belajar di School of Law,
University of Nottingham
Leave a Reply