Melawan Setan Dengan Menjadi Setan

oleh
Agung Wardana

Malam itu, setelah mendengar sebuah lagu dari televisi kami bertiga mulai terlibat dalam sebuah diskusi. Seorang teman, Komang, meminta pendapatku tentang polemik yang sedang terjadi di Bali. Konon sebuah ‘kotroversi hati’ bagi kelompok peduli lingkungan akibat ‘konspirasi kemakmuran’ yang terjadi antara penguasa dan pengusaha. Konspirasi ini berencana mengganggu ‘statusisasi’ kawasan konservasi Teluk Benoa untuk direklamasi.
Aku pun coba berkelit untuk memberikan pendapat setelah banyak pemberitaan di media lokal dan panggung tersedia bagi mereka yang menguasai retorika guna ‘mempertakut’ penguasa. Apalagi aku tahu beberapa teman-temanku sedang larut dalam euforia yang dikonstruksi oleh media massa. Ada yang mendadak ‘kiri’ karena ‘daya pikat’ sang idola anak muda. Ada juga yang merasa ewuh-pekewuh dengan teman sendiri jika tidak ikut bergabung. Aku sebetulnya tidak mau mengeluarkan pendapat yang melawan arus dengan seniman kebanyakan di komunitasku.
Aku mulai mendengar teman-teman baikku ini bersemangat bercerita tentang demonstrasi yang mereka pernah ikuti, Semakin mereka bersemangat, semakin aku merasa bersalah untuk tidak memberikan pendapat. Akhirnya aku berusaha memancing mereka berpikir. Karena yang aku tahu saat demonstrasi tidaklah ada dialog melainkan hanya orasi yang bersifat searah layaknya guru dan murid. Dan kemampuan retorika adalah yang utama.
Aku pun bertanya: “Menurut kalian apa itu reklamasi?”
Wayan: “Reklamasi itu, sederhananya ya, pengurugan kawasan, bisa daratan ataupun perairan.”
Aku: “Kenapa reklamasi ditolak? Lha, bukannya Pantai Sanur dan Padanggalak juga hasil pengurugan, eh reklamasi? Pantai Lebih yang sudah rusak jika ingin dipulihkan mungkin reklamasi adalah caranya. Kira-kira kalian akan nolak juga ngga?
Aku pun lanjutkan berkomentar: “Sebaliknya di kawasan bekas tambang, kewajiban perusahaan untuk melakukan reklamasi justru ditolak perusahaan tambang itu sendiri. Ups, sorry bukan bermaksud mensejajarkan para pejuang lingkungan yang sedang heroik dengan perusahaan tambang.
Komang: “Lha, kamu ini salah dan tidak mengerti masalah. Yang kami tolak itu reklamasi di Teluk Benoa bukan reklamasi-reklamasi di tempat lain.”
Aku: “Oh. Begitu ya. Ya maaf. Artinya slogan kalian perlu diperjelas, karena mulai dari website, lagu, hingga yel-yel kalian itu hanya mengatakan ‘menolak reklamasi’. Hal ini bisa terbawa di masa depan melampaui kasus ini. Trus, apa yang salah dengan ‘pengurugan’ Teluk Benoa?
Komang menjawab: “Reklamasi itu ditolak karena luasannya mencapai 800 hektar.”
Aku: “Baiklah. Klo yang salah luasan, berapa luas reklamasi yang boleh? Seandainya keseluruhan 800 hektar itu didesain menjadi kawasan tidak komersial, misalnya perumahan rakyat miskin atau pusat pengembangan pangan organik yang berbasis komunitas, atau bahkan ashram, apa akan nolak?” 
Wayan: “Jadi gini, Kawasan Teluk Benoa itu kan kawasan konservasi. Jadi reklamasi dilarang dilakukan di kawasan konservasi. Itu menurut aturannya.”
Aku: “Pernah baca peraturan-peraturannya?”
Wayan dan Komang: “Belum sih
Aku: “Siapa yang buat peraturan?”
“Pemerintah,” jawab Komang dan Wayan hampir serentak.
Aku: “Trus, yang kalian lawan itu siapa? Pemerintah juga kan?”
Komang: “Iya. Tepatnya, pemerintah yang sudah berselingkungan dengan pengusaha.”
Aku pun melanjutkan bertanya: “Jika kalian melawan pembuat hukum dengan menggunakan argumentasi hukum, bukankah itu berarti masuk perangkap  untuk dijadikan ‘konsultan hukum’ oleh pemerintah?”
Komang: “Lhakok bisa?”
Aku: “Ya. Sebenarnya yang patut ditolak adalah agenda pengusaha dan penguasa dibalik kegiatan reklamasi ini, yakni eksploitasi alam dan manusia demi uang. Masalah ini harus dibedah dari sudut pandang keadilan. Bukan justru dipersempit menjadi dua aspek, yakni teknis lingkungan dan hukum.”
Aku sendiri memutuskan tidak melanjutkan diskusi ini karena sepertinya kedua temanku telah ‘ditata’ sedemikian rupa cara berpikirnya ketika berbicara kasus ini. Mereka menjadi begitu seragam dalam memberikan argumentasi. Seperti sudah ada standar operasional prosedur di organisasi yang mereka ikuti ketika mesti menjelaskan perihal reklamasi ke orang lain.
Aku hanya bisa berandai-andai jika saja fokus perjuangannya adalah keadilan dan mengakar di masyarakat setempat, maka energi massa yang termobilisasi tidak akan dikuras hanya untuk menjawab pertanyaan apakah agenda eksploitatif ini dilakukan sesuai hukum (legal) atau melawan hukum (ilegal). Tentu temanku tidak akan memaksa diri berargumentasi hukum ketika ditanya alasan penolakannya tapi menghubungkan dampaknya dengan masalah keseharian. Bagiku, itulah pemberdayaan.
Analoginya, jika kita marah atas penghancuran hutan, gerakan yang membedakan antara penebangan secara legal dan penebangan illegal tidaklah membawa kita kemana-mana. Gerakan ini justru memperkuat posisi negara sebagai organisasi yang memiliki monopoli atas hutan dan sumber daya alam. Maka potensi mengalami kebuntuan (kuldesak) jika seluruh proses eksploitasi dilakukan secara legal semakin besar.
Penyempitan cara pandang melihat permasalahan reklamasi Teluk Benoa ke dalam aspek teknis dan hukum memiliki hubungan yang erat dengan pola gerakan. Aku tidak tahu yang mana yang menyebabkan yang mana. Ada dua kemungkinan, yakni cara pandang sempit ini yang mengakibatkan struktur organisasinya, atau sebaliknya konsepsi tentang pola organisasi yang mengakibatkan pemilihan sudut pandang. Namun yang paling jelas terlihat bagiku adalah pola organisasi gerakan yang bersifat  terpusat.
Ini oleh para kiri ortodok sering disebut dengan istilah ‘sentralistik demokrasi’. Istilah ini saling bertentangan. Bagaimana tidak? Semakin terpusat sebuah organisasi akan semakin tidak demokratis dia dalam realitasnya. Terpusatnya gerakan pada seorang figur sebagai panglima akan memberikan ruang manuver bagi figur ini dalam merasionalisasi kepentingan dan kenyamanan intelektual dan politisnya. Hasil rasionalisasi ini sering kali menjadi strategi dan taktik resmi melalui ‘persetujuan pasif’ yang didikte dari atas oleh sang panglima.
Strategi dan taktik ini  juga bertujuan untuk menguatkan kebutuhan akan adanya pemimpin dalam mencapai tujuan. Selanjutnya, pemimpin yang paling tepat adalah orang yang paling paham tentang strategi dan taktik ini, maka ‘persetujuan pasif’ untuk meneguhkan kembali posisi sang panglima diciptakan di luar kesadaran orang yang dipimpin. Panglima akan selalu berprinsip ‘massa terlalu bodoh untuk memahami kompleksitas permasalahan. Jadi tugas mereka adalah mengikuti perintah’ dalam merespon pendapat individu yang bisa mengganggu posisinya.
Tentu individu-individu yang larut dalam massa memiliki cara pandangnya tersendiri terhadap pemasalahan. Namun tidak semua ruang dibuka untuk menampung setiap kegelisahan individual karena setiap ide harus melalui proses ketat untuk dinilai oleh sang panglima. Individu-individu ini pun akhirnya enggan untuk menyampaikan pendapatnya dan menerima asupan yang bersifat dari atas jika tidak ingin disebut pembangkang. Jadi, organisasi ini dibentuk oleh peleburan identitas dan kesadaran individual dalam sebuah panji bernama ‘disiplin gerakan’.
Beberapa orang kawanku pernah bercerita bahwa mereka tidak kritis terhadap pola gerakan ini karena memang gerakan di Bali merupakan sesuatu hal yang baru. Hal ini mungkin saja benar. Namun, dalam proses belajar ini justru dinamika kritik internal dan dialog mesti dibangun lebih luas dalam mencari pola gerak yang efektif dan memberdayakan segenap orang yang terlibat.
Salah seorang kawan lagi menyesalkan posisi panglima gerakan yang tidak tegas. Namun sayangnya ia tidak berani mengungkapkannya. Begitu banyak tuduhan ditujukan terhadap gerakan ini. Yang paling menarik menurutku adalah tuduhan bahwa gerakan ini tidak independen dan ditunggangi kepentingan seorang konglomerat media yang berseberangan secara politik dengan Gubernur Bali.
Aku pikir tuduhan ini tidak keluar tanpa alasan. Ini merupakan dampak dari posisi sang panglimanya sendiri yang bekerja (dalam arti yang sebenarnya) pada media milik sang konglomerat. Pastilah perusahaan media ini juga disusun secara hirarkis, di mana si panglima (sebagai pekerja) merupakan bawahan dari sang konglomerat. Kuatnya warna sang konglomerat media lambat laun akan membawa gerakan ini menjadi layu seiring dengan menurunnya pemberitaan oleh media miliknya. Kita lihat saja.
Inilah bahaya ketika menyusun gerakan bersifat hirarkis dan sentralistik. Artinya, masa depan gerakan diserahkan pada seorang figur sentral, si panglima. Setiap kesalahan sikap dan posisi figur ini dapat dengan cepat menjadi senjata lawan untuk mematahkan gerakan. Selain itu, dalam gerakan terpusat orang-orang yang terlibat menjadi kehilangan pribadi-nya karena dilebur ke dalam massa aksi. Sedangkan sebaliknya pribadi sang panglima mengalami insititusionalisasi ke dalam tubuh dan budaya organisasi.  Ini hanya berupa perenunganku saja. Jangan ditafsirkan bermaksud untuk ‘mengkudeta keinginan’ atau lagi mengganggu ‘labil ekonomi’ mereka yang menjadi garda depan (vanguard). Hanya saja, aku berpendapat bahwa untuk melawan organisasi yang bersifat hierarkis seperti negara dan perusahaan, kita tidak bisa menggunakan logika yang sama (hirarkis). Setan tidak bisa dilawan dengan cara menjadi setan karena jika pun menang maka sang setan akan tetap ada. 
Telah dipublikasi di Majalah MagicInk edisi Oktober 2013 


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *