Melanjutkan Mimpi Media Watch di Bali

Keinginan sih ada. Modalnya yang tak ada.

Oleh karena itu, hingga saat ini kami belum bisa menjadikan Sloka Institute sebagai lembaga pemantau media (media watch). Kami belum melakukan pemantauan dan pelaporan secara berkala tentang bagaimana materi media-media di Bali.

Alasannya itu tadi, kami tak punya cukup modal.

Masalah lembaga pemantau media di Bali tersebut kembali muncul di pikiran setelah Rofiqi Hasan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar membahasnya secara berseri lewat Twitter. Mas Rofiqi, begitu aku biasa memanggil wartawan TEMPO ini, menganggap Sloka bisa jadi salah satu lembaga pemantau media tersebut di Bali.

Tapi, berat, Mas. Berat..

Sejak awal berdiri kami sangat ingin menjadi salah satu lembaga pemantau media di Bali ini. Aku ingat bagaimana kita mendiskusikan ini dengan teman-teman saat itu. Sambil lesehan, kita ngobrol dengan sekitar 30 orang, terutama aktivis dan jurnalis, tentang perlunya media watch.

Ya, harapannya ya ke Sloka. Waktu itu semua berharap teman-teman di Sloka bisa membuat laporan berkala tentang kekeliruan-kekeliruan media plus keluhan dari konsumen media di Bali.

Apalagi, saat ini makin banyak masalah di media arus utama di Bali. Misalnya campur aduk antara berita dan iklan, etika dan profesionalisme wartawan yang makin jauh dari ideal, dan seterusnya.

Tapi, perlu modal besar untuk menjadi lembaga yang bisa memantau media dan pekerjanya itu. Sayangnya, aku sendiri merasa kami di Sloka tak punya cukup modal.

Pertama modal intelektual. Untuk bisa bisa memantau media, tentu butuh orang yang ngerti atau bahkan ahli tentang media. Kalau bukan wartawan veteran ya ahli komunikasi, seperti dosen. Tak cuma mengerti media tapi juga bisa menganalisis materi (content analysis), frame (framing analysis), serta wacana (discourse analysis).

Sayangnya, kami cuma anak-anak kemarin sore yang belum cukup asam garam soal media dan apalagi menganalisisnya. Belum ada staf yang mampu melakukan itu semua.

Modal kedua adalah sumber daya. Tak cuma manusia tapi juga logistik untuk melakukannya. Perlu orang yang dengan intens mengawasi semua, atau setidaknya media-media penting di Bali, seperti Bali Post, Radar Bali, Nusa Bali, Bali TV, dan seterusnya.

Perlu modal untuk membeli media-media tersebut plus beberapa staf yang bisa memilih dan memilah materi di dalamnya. Aduh. Jelas tidak bisa. Kami kere. Tak punya cukup modal beli koran setiap hari. Jadi ya paling cuma bisa sesekali mengomentari materi media itu.

Modal ketiga, dan ini yang paling penting, kepercayaan diri. Ternyata kami tak cukup percaya diri (PD) untuk melakukan pemantauan media. Kami belum berani kalau harus melaporkan bobroknya media secara berkelanjutan.

Lha wong beberapa wartawan yang dikritik karena suka kloning berita dan terima amplop saja masih pada kebakaran jenggot, apalagi kalau media yang dikritik terus menerus. Aku tak yakin media di Bali juga siap jika diawasi.

Maka, ya sudahlah. Mari menikmati saja dulu karut marutnya media dan wartawannya di Bali saat ini. Kita pura-pura buta tuli saja kalau wartawan masih suka minta amplop, bahwa media masih suka campur aduk berita dan iklan, dan seterusnya.

Mari tutup mata dulu sambil melanjutkan mimpi indah.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *