Sabtu 11:40 wita
“Ya, sudah sepertiga bu. Kepalanya sudah keluar. Ayo ngeden lagi lihat perutnya,” ucap dr Arya dan sejumlah perawat bergantian. Ada empat perawat perempuan yang kulihat. Satu orang memegang iPod yang sempat kuminta untuk merekam proses ini di sela-sela memburu nafas bukaan 8.
Air dalam bak masih hangat. Sudah tiga kali aku ngeden tapi dengan napas perut pendek. Tak ada waktu mengatur aliran nafas karena sejak bukaan 6 sampai lengkap hanya berselang beberapa menit. Cepat sekali. Baru saja nyeri akibat pembukaan jalan lahir usai disusul nyeri berikutnya. Tidak ada jeda seperti bukaan awal sampai 5 di ruang UGD.
Sejak bukaan 5 aku dipindah ke ruang persalinan waterbirth. Aku dan suami baru dipersilakan berendam dalam air suhu 40 derajat itu ketika bukaan 8. Anton jadi tempat bersandar dan ikut mengalami tiap detik jelang lahiran.
“Ayo bu, tarik nafas sekali lagi. Rambutnya sudah kelihatan.” Napas kuatur terburu-buru dan agak panik karena tidak mau kepalanya nongol setengah. Pasti menyulitkan ia bernapas. Seorang perawat segera mengambil alat deteksi jantung bayi dan menempelkan di atas vagina. Detaknya kudengar. Ah, terima kasih bayi masih bernapas.
Sedetik kemudian aku menarik napas sekuat kubisa dan air hangat sudah berubah merah darah. Tubuh bayi ternyata sudah ditangkap dokter. Dia segera menaruhnya di dadaku.
Aku terkesiap. Tak peduli lagi nyeri, kubangan air bercampur darah, atau proses lainnya. Sayang aku harus segera pindah ke meja untuk menjahit luka robekan vagina.
Aku sudah merasa lebih santai. Bayi juga aku masih minta ditaruh di dada untuk inisiasi menyusui dini (IMD).
Setengah jam berlalu, nyeri jahitan mulai terasa. Dokter mengatakan luka robekanku parah sampai ke dalam vagina. Ia tak bisa melakukan jahitan di meja tanpa penerangan yang baik dan lebih nyaman karena butuh waktu panjang.
Aku dipindah dengan luka setengah terbuka ke ruang gyn. Aku masih ingin ditemani bayi, tapi diminta mengistirahatkan diri dulu karena proses jahit menjahit ini akan lama.
Benar saja, beberapa kali aku berteriak ke dokter. “Dok, berapa menit lagi kok lama sekali sih,” hardikku berulang-ulang.
“Bu, maaf ya robekannya di dalam. Bantu saya biar bisa cepat selesai ya,” kata dr Arya dengan sabar.
Tusukan jarum dan belitan benang sangat kurasakan. Bius tak bisa menembus vagina bagian dalam yang robek. Sekitar dua jam proses jahit ini baru selesai.
Aku masih harus tinggal di ruang ini lebih dari 1,5 jam untuk observasi apakah ada pendarahan usai jahitan. Aku minta perawat membawa bayiku lagi untuk melanjutkan imd. Hasratku amat besar biar bayi bisa mencapai payudara sendiri dan menikmati emutan pertamanya.
Bayi akhirnya dibawa kembali tapi ditaruh langsung tengkurap di dadaku. Kepala kecilnya bergerak pelan, perawat mendekatkan puting susu. Dia mencecap tetesan pertama setelah puting dipencet. Aku masih ingin bayi ditaruh di perut kemudian menikmati sensasi dia mendaki sampai dada. Tapi aku harus segera dipindahkan ke kamar. Aku minta bayiku juga dibawa ke kamar. Perawat bilang akan segera bawa ke kamar setelah dibersihkan.
Di kamar, rasa nyeri di vagina terus mendera. Ak juga masih khawatir apakah ada pendarahan. Karena ini yang menjadi risiko besar pada persalinan normal. Akibatnya bisa fatal. Ah aku tak mau mengingatnya.
Perawat datang tiap beberapa jam mengukur tensi darah, hitungan nadi, dan mengecek darah yang keluar.
Aku lebih menaruh perhatian pada bayiku. Perawat pertama yang ngecek tensi langsung kuminta bawa bayi ke kamar sesegera mungkin. Benar saja, perawat berikutnya datang membopong Satori yang sudah berpakaian. Aku minta Satori ditidurkan di sisi tempat tidurku bukan di box bayi.
Aku langsung menyodorkan payudara. Bisa menyusui adalah hasrat terbesar berikut karena aku tidak mau satori diberikan susu formula sama sekali sejak lahir.
Satori langsung mau mengulum puting dan menyesapnya. Senang sekali. Tapi aku tahu hanya ada satu dua tetes saja di payudara. Aku terus melekatkan puting. Tiap sesapan Satori kuyakini akan menstimulasi tetesan berikutnya.
Sepanjang malam Satori terus di tempat tidurku. Tiap dia menggeliat aku mendekatkan puting dan dia menyambut. Rasa nyeri vagina terasa hilang saat aku menyusui. Aneh. Sampai pas tengah malam, aku ingin ke kamar mandi melangkah kali pertama sejak dijahit karena dokter menyarankan aku tak menahan kencing dan BAB.
Menahan nyeri yang sangat aku duduk di kloset. Air kencing terasa terhambat sesuatu. Ayah kuminta nelp perawat. Perawat mendatangi di kamar mandi. Ia minta aku melepas sendiri tampon yang menghambat air kencing. Aku tak tahu ada tampon dalam vagina. Aku meraba dan memang ada tonjolan kain kasa yang digulung. Aku menariknya perlahan dan shock kok panjang sekitar 20 cm masuk vagina.
Darah langsung mengalir ke lubang kloset setelah ujung tampon lepas. Aku panik dan kepala terasa pusing. Oh no, jangan sampai bleeding. Perawat minta aku segera duduk dan akan mengecek tensi darah.
Minggu pagi
Hari Minggu pertama bersama Satori. Makan pagi segera kulahap agar asi bertambah. Aku minta susu diganti teh hangat karena tak pernah minum susu sejak hamil dan kini pun tak tertarik.
Anton minta satori untuk dijemur matahari pagi. Sambil menyesap kopi, ayah menimang satori menikmati mentari pagi pertamanya.
Aku minta perawat segera membersihkan kamar karena aku ingin semua bersih saat Satori tiba usai dimandikan nanti. Memandikan bayi dan membersihkan kamar tak bisa segera karena perawat belum ganti shift. Sementara cleaning service juga belum mulai waktunya bekerja. Aku aja yang ingin lebih cepat karena saking semangatnya menyambut Satori.
Leave a Reply