Siang ini langit begitu biru, cerah namun agak terik menyengat. Mungkin karena sinarnya tak terhalang awan yang biasa berarak bersama.
“Kamu sedang apa?“. Kulihat ia membuat lingkaran-lingkaran di tanah. Ada 2 buah lingkaran yang diameternya semakin membesar.
“Sudah!” sahutnya sembari ia berpindah ke titik tengah dari lingkaran yang terdalam. Ia berdiri disana dan hanya diam. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Ia tampak berbeda dengan yang dulu. Api-api yang dulu membara sepertinya sudah padam. Mungkin waktu telah membantu menyembuhkan luka dan memadamkan rasa marahnya.
Aku diam, menunggu ia berbicara.
“Ini aku sebut lingkaran pribadi” sambil ia merentangkan tangan dan memutarkan tubuhnya.
“Dulu aku biarkan orang-orang mendekatiku hingga sedekat ini” sambil ia menunjuk lingkaran pertama. Lingkaran itu mungkin hanya berdiameter 2 meter.
“Jujur saja itu menyenangkan. Melihat dan merasakan orang-orang begitu dekat dengan kita. Mereka bisa menyentuhku dan begitu juga aku. Ada rasa kehangatan ketika orang-orang dekat dengan kita. Sedekat ini”
“Tapi ternyata tidak semua hal berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Booom!, sesuatu yang buruk terjadi. Ada perselisihan, pertengkaran, ketidaksetujuan yang membuat kita bertengkar atau berselisih dengan orang terdekat kita“.
Ia sejenak terdiam.
“Kamu tahu, orang yang paling dekat dengan kita adalah orang yang memungkinkan melukai kita dengan amat sangat” lanjutnya lirih.
Aku setuju itu.
“Dan itulah yang terjadi. Sakit, perih, kecewa, sedih, marah dan tidak percaya semuanya bercampur menjadi satu. Ini membuatku menutup rapat diriku, membuat benteng untuk melindungi perasaanku yang terluka.”
Ia memutar badannya dan mulai menghapus lingkaran pertama dengan kakinya. Debu-debu kecil beterbangan di sekitar kakinya seakan mengiringi rasa sedih yang ia terima.
Setelah selesai, ia menutup wajahnya lalu kemudian berkacak pinggang dan menatap langit biru sambil berkernyit. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Ia serasa tak ada disini, terbang entah kemana.
“Lalu aku memilih untuk menutup diri, memberi jarak yang cukup jauh sekedar bisa sedikit bersentuhan dengan orang-orang terdekatku” sambil ia menunjuk pada lingkarang yang kedua yang diameternya lebih besar, mungkin sekitar 3.5 meter.
“Dengan jarak seperti ini, aku baru bisa tersentuh jika aku mengulurkan tanganku” sahutnya sambil membuka lengannya.
Ia kemudian diam dan duduk dalam lingkarannya.
“Aku merasa aman disini, tapi kamu tahu apa yang terjadi?”
Ia diam, aku juga diam menunggu ia berbicara lagi.
“Kamu tahu … ”
“Aku merasakan kesepian sekarang. Rasa sepi yang benar-benar perlahan membunuhku.”
“Tapi aku takut, aku takut kalo aku mendekat lagi, hal yang sama akan terjadi”
Ia terdiam lagi. Aku hanya bisa memandangi wajahnya yang kini terlihat sedih,matanya menyiratkan kesepian dan ketakutan disana.
Aku tahu yang kamu rasakan, aku tahu apa yang kamu lakukan dan itu tidak salah, tapi memang ada harga yang harus dibayar untuk itu. Ya kamu akan lebih aman tapi yang terjadi kamu akan mengalami rasa sepi.
Dibutuhkan keberanian untuk melewati ini, seperti juga dibutuhkan keberanian untuk tetap hidup.
Nak sebenarnya kamu kehilangan kepercayaan. Kepercayaan terhadap orang terdekatmu. Jadi belajarlah untuk mulai percaya terhadap orang-orang terdekatmu. Iya, ini bakal butuh waktu, karena memulihkan rasa percaya itu sulit. Jika hal buruk terjadi dengan mereka, bukan berarti kita berhenti mempercayai mereka tapi kita hanya diberi tanda untuk lebih mawas dan tahu bagaimana bersikap. Dibutuhkan keberanian untuk percaya.
Akan selalu ada hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup kita. Jadi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah bagaimana untuk tetap bangkit, belajar dari apa yang terjadi dan menjalani hidup lagi.
Angin bertiup agak keras, menerbangkan daun-daun kering yang berserakan. Debu-debu di tanah lapang yang sepi ini pun seperti berputar-putar seperti menari ingin menghibur.
Ia hanya diam … dan hanya diam.
Leave a Reply