Partisipasi, Mental Birokrasi dan Wanprestasi
Oleh
Agung Wardana
Berbagai upaya untuk men-delegitimasi Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Provinsi Bali terus saja dilakukan. Mulai dari gugatan ke Mahkamah Agung hingga mendesak DPRD lewat pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan pengkajian atas perda sampai tuduhan bahwa proses Perda tersebut tidak partisipatif.
Sebagai mantan anggota Tim Pengkaji Naskah Akademik dan Penyusun RTRW Bali yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi bersama 22 orang lainnya, penulis merasa perlu untuk meluruskan beberapa hal tersebut. Dengan demikian menjadi jelas dimana letak permasalahan partisipasi tersebut dan tidak menyesatkan masyarakat Bali kebanyakan.
Partisipasi Dalam Proses Pembahasan
Made Sudana saat penyerapan aspirasi di Kabupaten Badung menyatakan bahwa permasalahan pro-kontra Perda RTRW ini muncul karena kabupaten/kota tidak dilibatkan (Bali Post, 21/01/11). Argumentasi ini juga digunakan oleh kalangan Dewan Provinsi untuk dijadikan alasan guna melakukan penyerapan aspirasi dan membentuk Pansus.
Sebagai pendatang baru di DPRD Bali, karena saat proses pembahasan ranperda bergulir, Made Sudana masih menjabat sebagai anggota DPRD Tabanan. Sepertinya beliau tidak mengikuti proses panjang dan melelahkan yang berlangsung di provinsi. Atau mungkin karena beliau sedang sibuk mengurus pelanggaran tata ruang yang juga banyak terjadi di daerahnya, seperti di Pantai Kelating dan Wongaya Betan.
Bahwa sejatinya, pelibatan kabupaten/kota telah terjadi bahkan kepentingan mereka juga banyak yang diakomodir. Hal ini dapat dilihat dari masuknya usulan kabupaten/kota dalam Perda, misalnya ada kabupaten yang minta pelabuhan atau fasilitas lainnya pun telah diakomodir.
Sejak konsultasi publik awal yang diadakan di Bappeda Bali pada Februari 2009, kabupaten/kota diundang. Dalam konsultasi ini, Pemerintah Provinsi bermaksud untuk membahas draft rancangan peraturan daerah (Ranperda) RTRW Bali pertama yang disusun oleh konsultan. Dalam sesi penggalian masukan, undangan dari Bappeda Karangesem menjadi pusat perhatian karena menyatakan sikapnya dalam membela pembangunan hotel di bukit Mimba. Kasus Mimba saat itu memang tengah hangat menjadi sorotan publik apalagi setelah dikeluarkannya Peraturan Bupati (Perbup) Karangasem yang melabrak aturan tata ruang saat itu (Perda No. 3 Tahun 2005)
Berikutnya, dalam pembahasan draft Ranperda versi kedua bulan April 2009 yang berlangsung di Graha Sabha, kabupaten/kota lengkap dengan masyakarat yang berkepentingan juga diundang untuk memberikan masukan. Tidak hanya itu, Rembug Krama untuk Keadilan Tata Ruang yang dilakukan oleh Forum Peduli Gumi Bali pada 7 Juli 2009 pun dihadiri oleh beberapa utusan pemerintah kabupaten. Dalam rembug ini kembali pihak Bappeda Karangasem juga bersikukuh pada sikapnya membela pembangunan di Mimba dihadapan ratusan peserta, Made Arjaya, anggota DPRD dan Bapak Ngakan, perwakilan Bappeda Bali.
Jadi sebaiknya sebelum mengungkapkan fakta bahwa kabupaten/kota tidak pernah dilibatkan, pihak bersangkutan melakukan pendalaman terhadap proses yang telah dilakukan. Misalnya dengan jalan sederhana yakni melihat kembali surat undangan yang dilayangkan Bappeda Bali setiap kali dilaksanakan konsultasi publik maupun rapat terkait pembahasan ranperda.
Mengingkari Kesepakatan
Bukti yang lebih terang mengenai keterlibatan kabupaten/kota terdapat dalam lampiran XVIII Perda RTRW sendiri. Dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda mengatur tentang wilayah kabupaten/kota yang disepakati menjadi kawasan strategis provinsi. Artinya, ketika kabupaten/kota sepakat bahkan menandatanginya, maka secara legal pemerintah kabupaten/kota mendelegasikan kewenangannya dalam pengelolaan kawasan strategis tersebut kepada pemerintah provinsi.
Dalam kasus Badung, dengan jelas dalam lampiran dinyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Badung sepakat untuk memasukkan Tuban, Kuta dan Nusa Dua sebagai kawasan strategis provinsi. Jadi sesuai pasal 132 (3) (d) Perda RTRW Bali, Pemerintah Provinsi Bali memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan moratorium pembangunan infrastruktur pariwisata di kawasan tersebut dalam rangka ‘pengendalian pemanfaatan ruang’.
Maka kemudian menjadi aneh dan tidak lucu ketika Badung dan kabupaten lainnya menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan Perda RTRW ini. Terlebih lagi mereka menjadi terlihat munafik dengan melakukan pengingkaran dan menolak untuk tunduk pada kesepakatan yang telah dibuatnya sendiri.
Masalah Birokrasi
Sepanjang rapat-rapat yang diikuti penulis dalam proses pembahasan Ranperda, memang Bupati/Walikota tidak pernah mengikutinya. Kabupaten/kota terlihat diwakili oleh Ketua Bappeda Kabupaten atau bahkan hanya staf bawahannya. Dalam prosesnya, mereka tidak banyak berkomentar dan cenderung diam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mereka tidak berkeberatan terhadap kesimpulan rapat yang diambil dalam forum.
Penulis melihat disini letak gap komunikasi yang terjadi antara proses yang bejalan di provinsi dengan informasi yang diterima di kabupaten. Mental birokrasi yang asal bapak senang (ABS) terkadang menyebabkan informasi menjadi bias dan tidak tersampaikan dengan baik kepada atasannya. Jika saat ini para Bupati/Walikota beranggapan bahwa suara mereka tidak diakomodir, maka selayaknya mereka menyalahkan bawahannya yang tidak pernah menyampaikan aspirasi dari kabupaten/kota-nya ketika forum berlangsung.
Ketidakhadiran Bupati/Walikota melainkan hanya dengan mengirim bawahannya menunjukkan ketidakseriusan mereka dalam permasalahan tata ruang ini. Jadi sungguh bukan tindakan yang bijaksana untuk menyalahkan proses pembahasan Perda ketika nyatanya mereka acuh tak acuh selama ini. Namun ketika telah disepakati, sepertinya para Bupati/Walikota seperti kebakaran jenggot dan emosional menanggapi. Hal ini justru menunjukkan kekerdilan sikap seorang pemimpin daerah.
Renungan
Segala cara digunakan untuk mengobrak-abrik Perda yang belum genap berumur 2 tahun tersebut. Legimasi dan integritas Pansus DPRD dipertanyakan, upaya peninjauan kembali (review) yang tidak sejalan dengan aturan mendapatkan sorotan dari banyak kalangan, dan tuduhan tidak partisipatif yang telah terjawab dengan jelas diatas. Maka, setelah itu entah apalagi argumentasi berikutnya yang akan mereka hembuskan.
Namun yang pasti dari semua argumentasi mereka adalah kentalnya kepentingan investasi sebagai berhala baru. Peranan pemerintah baik eksekutif atau legislatif semakin berubah yakni dengan jelas memperlihatkan diri menjadi corong investasi. Sebagai rakyat Bali yang mencintai pertiwi dan ingin mewariskannya kepada anak cucu kita nanti, dengan demikian kita mesti bertanya kepada mereka: masih layakkah mereka tersebut menyatakan dirinya mewakili kepentingan kita?
Penulis, aktivis lingkungan
Sedang belajar di Inggris
telah dipublikasikan di http://beritabali.com/index.php?reg&kat&s=opini&id=201103170001
Leave a Reply