-->
Oleh
Agung Wardana
Dua puluh tahun sudah era pembangunan berkelanjutan berjalan, namun tantangan global untuk memperbaiki lingkungan belum juga terjawab. Juni ini kembali komunitas internasional mengadakan pertemuan untuk melakukan evaluasi terhadap konsep pembangunan berkelanjutan dan inisiatif baru dalam mencari solusi. Konferensi tentang Pembangunan Berkelanjutan, atau Konferensi Rio+20, yang akan dihadiri ratusan kepala negara, menjadi penting di tengah semakin masifnya krisis lingkungan seperti perubahan iklim, kepunahan keanekaragaman hayati maupun krisis air dan pangan, dan diperparah oleh krisis ekonomi global.
Sejatinya, baru dekade belakangan ini komunitas internasional secara terbuka mengakui bahwa krisis lingkungan berhubungan erat dengan model ekonomi dominan. Sebelumnya, hubungan antara ekonomi dan lingkungan terkesan ditutupi sehingga model ‘business as usual’ tetap dipertahankan. Hal ini yang kemudian mendorong terjadinya misalokasi kapital sebagai salah satu akar permasalahan lingkungan kontemporer. Selama dua puluh tahun kapital/modal diarahkan ke sektor properti, bahan bakar fosil, finansial dan turunannya. Sementara itu, alokasi kapital pada sektor pengembangan teknologi bersih, transportasi publik, perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati sangatlah minim.
Menyadari pentingnya usaha untuk meletakkan landasan ekonomi yang benar secara global, Konferensi Rio+20 memasukan konsep ‘green economy’(ekonomi hijau) dalam Rencana Aksi ‘The Future We Want’ (Masa Depan Yang Kita Inginkan). Namun, di tengah antusiasme komunitas internasional untuk segera mengadopsi ekonomi hijau, konsep ini pun tidak lepas dari kritik berbagai pihak. Sehingga terdapat dua kubu yang saling berkontestasi, yakni optimistis dan skeptis.
Kubu Optimistis
Ekonomi hijau diartikan oleh UNEP sebagai konsep ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia sambil mengurangi secara signifikan resiko lingkungan dan kerentanan ekologis. Dalam konsep ini, investasi publik dan privat didorong untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan polusi, mendorong efisiensi energi dan sumber daya alam, mencegah kepunahan keanekaragaman hayati dan jasa layanan ekosistem. Artinya, pembangunan harus diarahkan guna mempertahankan, menguatkan dan membangun kembali natural capital (modal alam) sebagai aset ekonomi vital.
Jika ekonomi hijau ini diadopsi, indikator dan cara penghitungan ekonomi pun pada gilirannya akan dirubah. Selama ini, indikator ekonomi konvensional berupa GDP (gross domestic product) dianggap gagal untuk merefleksikan kenyataan dan hubungan antara produksi-konsumsi dengan penurunan modal alam. Saat ini UN Statistical Divisionmengembangkan Sistem of Environmental and Economic Accounting (SEEA). Diharapkan meluasnya penggunaan sistem ini akan dapat memperlihatkan tingkat pendapatan masyarakat dan lapangan pekerjaan dan relasinya dengan jasa layanan lingkungan dan sumber daya alam yang lebih benar. Pada gilirannya, intervensi ekonomi dalam penyelamatan modal alam yang genting dapat segara dilakukan.
Kubu Skeptis
Bertentangan dengan kubu optimistis, kubu skeptis menilai landasan dasar ekonomi hijau masih terletak pada prinsip-prinsip dasar kapitalisme, yakni akumulasi modal, nilai lebih dan kepemilikan individual atas alat produksi. Konsep yang sering disebut sebagai ‘green capitalism’ (kapitalisme hijau) ini dituding sedang meng-uang-kan segala aspek kehidupan. Keanekaragaman hayati pada seluruh tingkatnya (gen, spesies dan ekosistem), aset alam (hutan, danau, lahan basah, dan aliran sungat yang merupakan komponen penting sebagai natural capital pada level ekosistem) akan dinilai menggunakan perhitungan ekonomi.
Selain itu, ekonomi hijau tidak mendorong proses redistribusi kepemilikan dan kontrol atas sumber daya ekonomi. Hal ini karena premis dasarnya adalah struktur yang tidak adil dan tidak demokratis dimana kontrol segelintir elit atas sebagian besar sumber daya alam, ekonomi dan finansial. Ekonomi hijau juga tidak berorientasi pada penyediaan kebutuhan hidup rakyat yang berjalan harmonis dengan alam dan daya dukung lingkungan. Melainkan justru menguatkan akumulasi keuntungan sebagai motivasi utama dari kegiatan ekonomi, dimana pertumbuhan sebagai alat ukur dan pasar sebagai penentu barang dan jasa yang dijual dan siapa yang mampu membeli.
Selanjutnya, ekonomi hijau juga dikritik karena tidak mempertimbangkan diskriminasi dan ketimpangan ekonomi berbasis gender, kelas, ras dan etnisitas. Konsep ekonomi yang buta akan diskriminasi dan ketimpangan ini hanya akan memperkuat ketidakadilan yang lahir dari aspek tersebut. Kemudian, ekonomi hijau tidak mengakui prinsip bahwa tanah, air, hutan, atmosfer, ekosistem dan teritori seharusnya tidak dimiliki dan dikontrol secara privat/individual. Justru ekonomi hijau mendorong perlakukan terhadap alam sebagai ‘natural capital’ (modal alam) yang diartikan untuk dimiliki, dijual, dipertukarkan, dibeli menggunakan instrumen finansial.
Terakhir, konsep ekonomi hijau ini akan meningkatkan komodifikasi, privatisasi dan finansialisasi alam dan konsentrasi kontrol atas alam di tangan korporasi. Komodifikasi ini pun telah berjalan, misalnya pada inisiatif REDD+ bagi hutan, Carbon Trade bagi atmosfer, privitisasi air, paten bibit, dan sebagainya, justru ekonomi hijau hanya akan memperdalam proses ini dengan meluaskan komoditasnya pada keanekaragam hayati, sumber daya yang penting bagi kehidupan lainnya.
Renungan Juni
Seperti halnya konsep pembangunan berkelanjutan, konsep ekonomi hijau juga merupakan hasil dari kompromi dari berbagai kepentingan. Konsep yang menawarkan pendekatan yang moderat dalam menjawab krisis lingkungan ini, misalnya dengan menggunakan mekanisme berbasis pasar dan teknologi semata, tidak akan menjawab akar permasalahan. Bagi para pelaku bisnis dan korporasi, dengan kerangka berpikir bahwa dalam setiap krisis terhadap peluang keuntungan, maka ekonomi hijau justru hanya akan memberi justifikasi guna meluaskan ekspansi bisnis mereka dalam mencari komoditas baru demi akumulasi modal.
Oleh karena itu, mari belajar untuk tidak meletakkan ekspektasi yang tinggi atas konsep-konsep besar yang lahir dari meja perundingan. Meski demikian, sebagai agen perubahan maka seyogyanya rakyat terus mencoba mencari solusi yang lebih efektif dan menjawab akar permasalahan lingkungan hidup. Hal ini dilakukan tentu dengan menempatkan aspek keadilan dan hak asasi manusia sebagai pertimbangan penting karena bagaimana pun krisis lingkungan juga memiliki dimensi keadilan dan kemanusiaan yang erat.
Peneliti pada Fair Trade Institute
Staf Pengajar Fakultas Hukum
Undiknas University
Leave a Reply