Agung Wardana
Democratic feudalism (feodalisme demokratik) istilah yang sering dilontarkan untuk menyebut proses politik di Indonesia yang mengarah pada feodalisme baru. Orang-orang yang memiliki darah bangsawan politik dianggap sebagai kelompok yang paling legitimate untuk memimpin. Alhasil, jabatan politik ‘disulap’ seperti sebuah singasana raja yang ‘diserahkan’ secara turun temurun kepada keturunannya, sedangkan rakyat digiring untuk memberi justifikasi bahwa proses peralihannya berjalan secara demokratis. Secara politis, jelas bahwa pemindahan kekuasaan secara turun temurun merupakan agenda untuk mempertahankan kekuasaan dan keadaan sosial saat ini (status quo) bukan justru untuk melakukan perbaikan secara mendasar.
Di Tabanan, kecenderungan feodalisme demokratik ini sedang mengarah pada kegagalan. Gerakan rakyat untuk menuntut keadilan, di Tanah Lot misalnya, direduksi menjadi persentase pembagian hasil dari obyek wisata tanpa melihat penyebabnya yakni tidak sensitif-nya pemerintah terhadap gejala masyarakat dan kebuntuan komunikasi politik. Selajutnya, potret kemiskinan disajikan dengan sangat gamblang di media massa. Namun sang penerus tahta (Bupati) sepertinya lebih asyik untuk menjadikan Pemerintah Kabupaten Tabanan layaknya event organiser. Berbagai kegiatan-kegiatan serimonial dibuat, tak lupa dimuat di media massa dan dipajang di banner-banner tepi jalan. Pesta rakyat, berias massal, pemeriksaan serviks massal, baik untuk mengejar Rekor Muri atau sekedar hiburan telah dibuat dan deretan daftar kegiatan berikutnya tinggal menunggu waktu saja.
Tentu saja, hiburan massal ini dibuat meriah bukan tanpa maksud. Kondisi rakyat yang prihatin karena dihadapkan pada kesulitan hidup, biaya sekolah yang mahal, kesehatn tak terjangkau, infrastruktur rusak, membutuhkan semacam candu untuk menenangkan diri. Pada konteks ini-lah hiburan memainkan peran menjadi sarana pelampiasan (kartasis) kemarahan dan keputusaasaan rakyat. Analog dengan analisa diskursus-nya Foucault, hiburan yang diciptakan penguasa ini merupakan wahana pendisiplinan dengan tujuan meredam gejolak kemarahan sehingga tidak berujung pada perlawanan yang dapat membahayakan kekuasaan. Selain itu, acara hiburan juga menjadi ruang bagi para penguasa untuk membentuk citra dan bahkan ikonisasi.
Ikonisasi ala TabananMemang Hari Ulang Tahun (HUT) Tabanan telah berlalu sejak 29 November 2011 silam. Namun umbul-umbul, banner, spanduk hingga billiboard besar masih terpasang di setiap sudut kota dihiasi oleh ikon Sagung Wah yang sedang menghunus keris disandingkan oleh wajah sang Bupati. Pemilihan Sagung Wah sebagai ikon Kabupaten Tabanan periode ini bukanlah suatu kebetulan. Tentu saja ada strategi pencitraan yang coba dibangun oleh pemerintah Kabupaten Tabanan.
Sebuah strategi pencitraan politik usang yang diujicobakan kembali. Karena sejak jaman feodal pencitraan penguasa adalah suatu hal yang niscaya untuk memelihara ketertundukan dan loyalitas rakyat kepada sang penguasa. Sekaligus menguatkan mitos bahwa sang penguasa merupakan juru selamat (ratu adil) bagi rakyat yang sedang menderita. Misalnya, pada kerajaan Hindu Kuno, sang raja sering kali diklaim sebagi personifikasi dari dewa-dewa, di era lebih modern sang penguasa diberi gelar Putra Sang Fajar atau Bapak Pembangunan dan lain sebagainya.
Perkembangan teknologi dalam masyarakat membuat strategi pencitraan politik ini semakin massif dilakukan dengan memanfaatkan ruang-ruang publik. Masyarakat yang sedang dijangkiti virus narcisisme akibat kehadiran facebook, juga digunakan sebagai alasan yang lumrah bagi para pejabat untuk bernarsis-ria. Contohnya, dengan memajang foto-foto mereka pada setiap iklan layanan masyarakat terlepas dari ada tidaknya korelasi antara pesan yang ingin disampaikan dengan kepentingan untuk menampilkan figurnya dalam rangka ikonisasi.
Sebagai bupati perempuan pertama di Bali maka dibutuhkan citra seorang perempuan heroik yang dikenal dalam sejarah Bali dan dekat secara emosional dengan masyarakat Tabanan. Terpilihlah seorang Sagung Wah, pejuang kemerdekaan yang masih muda belia yang coba dipadankan dengan sang Bupati. Namun, pemadanan figur Sagung Wah dengan Bupati dapat dikatakan sesat pikir dalam beberapa hal. Pertama, Sagung Wah adalah seorang pahlawan yang rela berkorban untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dalam melawan kolonial. Namun ketika kemerdekaan telah dapat diraih, penguasa-penguasa lokal hari ini, termasuk Ibu Bupati justru ingin menjual murah Ibu Pertiwi kepada pihak asing. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana Ibu Bupati bersikeras ingin menjual pasir hitam yang merupakan penyangga daratan Bali atas nama pendapatan daerah.
Kedua, Sagung Wah siap berani menanggung segala konsekuensi dari perlawanannya termasuk juga oleh Belanda harus diasingkan ke Lombok. Saya belum yakin, jika ada seorang elit politik saat ini, termasuk Ibu Bupati, yang siap menderita untuk membela ide-ide yang dipercayanya apalagi mereka terbiasa hidup di tengah hedonisme. Malah sering kali terjadi pertentangan antara wacana dan laku sang pemimpin, misalnya berbicara ekonomi kerakyatan tetapi mendorong komodifikasi ruang-ruang hidup rakyat. Mengklaim diri penurus ajaran Marhaenisme namun lebih mementingkan citra politik daripada melakukan hal yang lebih mendasar yakni membaca dan menjawab persoalan rakyat kecil dengan lebih cerdas.
Jika demikian, masihkah kita bisa beranggapan bahwa pemerintah merupakan perwujudan dari kehendak rakyat?
Alumnus University of Nottingham, Inggris
Tinggal di Tabanan
Leave a Reply