Pagi masih gelap ketika kami berangkat dari rumah.
Sekitar pukul 6.15 Wita. Matahari belum terbit. Sebagian besar rumah tetangga masih tertutup. Jalanan masih sepi.
Dua anak kami belum mandi. Bani masih kucel karena baru bangun. Satori, si adik, belum sepenuhnya sadar.
Kami memang membangunkan mereka lebih awal meskipun Sabtu, hari di mana kami biasanya seharian bersama mereka di rumah. Kali ini tidak. Kami di Sloka ada pelatihan jurnalisme warga di Tulamben.
Karena kami berdua, aku dan Bunda, harus memfasilitasi semua proses pelatihan, maka mau tak mau kami harus mengajak mereka. Apalagi kami menginap dua hari di lokasi pelatihan.
Lokasi pelatihan di Tulamben, Bali bagian timur. Lama perjalanan sekitar 2,5 – 3 jam perjalanan dari Denpasar. Karena acara mulai pukul 9, maka kami pun harus berangkat amat pagi dari rumah.
Setelahnya, kami pun meliuk-liuk di jalan raya antara Denpasar – Tulamben. Dua anak kami, dengan wajah kucel masing-masing karena belum mandi, kembali terlelap di mobil. Satori tidur di pangkuanku.
Aku menatap teduh wajahnya. Ada perasaan campur aduk antara merasa berdosa dan tidak tega. Kenapa kami harus melibatkan mereka terlalu jauh dalam kegiatan-kegiatan yang semata untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan ini?
Sejak awal mendirikan Sloka, kami berdua memang menjadikannya ruang untuk berbagi ide, pikiran, dan pengetahuan. Bukan untuk tempat mencari makan. Maka, kami pun melakukan semuanya semata untuk berbagi. Tak lebih.
Kegiatan semacam kelas jurnalisme warga ini hanya salah satunya. Sebut saja ini semacam kerja bakti.
Tapi, tumben saja kali ini aku jadi melankolis. Sentimental.
Mungkin karena sudah tidak ada lagi teman-teman yang dulu turut serta dalam kerja-kerja sukarela ini. Mungkin juga karena sekarang lokasinya jauh dan harus mengajak anak-anak kami.
Perasaan bersalah itu pergi sebentar ketika Satori membuka mata. Bani juga sudah asyik baca buku, sesuatu yang selalu dia lakukan tiap kami melakukan perjalanan.
Lalu, keduanya bermain bersama. Saling bercanda. Hal yang selalu mereka lakukan di mana saja.
Rasa berdosa kemudian berganti rasa syukur. Terharu melihat mereka selalu saja ceria tiap kali kami mengajak mereka melakukan kegiatan semacam ini.
Salah satu yang aku ingat banget ketika kami ke penjara anak sekitar Mei lalu. Hanya kami berempat. Ke penjara anak untuk mengunjungi para narapidana tersebut sambil memberikan buku karya-karya mereka.
Aku pikir keduanya akan sebal selama di penjara. Ternyata tidak sama sekali. Mereka malah amat menikmati.
Selama di penjara, Satori diajak anak-anak yang telanjur mendapat stigma itu. Dia diajak masuk kamar, main di halaman, juga mancing ikan di kolam. Adapun Bani sibuk memotret dan merekam anak-anak itu.
Begitu pula ketika mereka ikut kelas di Tulamben sekarang. Keduanya asyik-asyik saja. Hanya sesekali ribut layaknya anak-anak. Tapi, selebihnya, mereka menikmati proses di sana. Inilah hal yang kami syukuri termasuk dua hari ini.
Minggu sore, pukul 3.30 Wita. Kami menutup kelas jurnalisme warga di Tulamben pekan ini. Kemudian kami kembali ke Denpasar sedangkan Bunda ke Kintamani untuk kegiatan lain.
Bani dan Satori kembali bercanda di mobil selama perjalanan. Sekitar 1 jam kemudian, keduanya terlelap di kursi. Aku tatap lekat wajah mereka. Seperti biasa, adem. Teduh sekali.
Kami tiba di Denpasar ketika hari sudah gelap. Kami makan malam sebelum tiba di rumah. Bani menyantap nasi padang lauk ikan dan ayam dengan lahap.
Satori terlihat lemas. Dia tidak mau makan. Hanya meletakkan dagu di meja. Tatapan matanya kosong. Dia tak berkata apapun.
“Mungkin adik sakit, Yah,” kata Bani.
Aku raba dahi Satori. Suhu normal. Tidak hangat. Artinya dia sehat. Baik-baik saja.
“Adik mau makan?” tanyaku.
Dia menggeleng pelan.
Aku ambil dia dari kursi. Aku pangku dan dekap tubuhnya. Mataku berkaca-kaca…
“Maafkan ayah ya, Nak..”
Leave a Reply