dulu, ada kalanya aku ingin melawan kekuatan semesta. dengan kesombongan dan dada yang dibusungkan, aku ingin tahu, apa jadinya jika aku tak turut serta dalam rencana maha sempurna yang disusunnya untuk hidupku.
kala itu, diam kukira adalah aksi paling heroik yang bisa aku lakukan. aku tak bergerak, tak berinteraksi dan tak melakukan satu hal pun. aku ingin melihat bagiamana dunia akan berevolusi tanpa aku ada di dalamnya. sudah cukup, kataku. aku tak ingin semesta bersenang-senang dan mempermainkan hidupku.
dan lagilagi, kukira diam adalah jawaban dari dunia yang tak mengenal kata stagnan.
hingga beberapa saat kemudian aku mulai berfikir, bagaimana jika justru semesta sedang tertawa terbahak-bahak melihat aksi heroik konyolku itu?
bagaimana jika semesta justru berkata, emang kamu siapa? sok-sokan melawan kosmik, belawan rotasi, melawan waktu?
waktu.
jadi itulah masalahnya. kosmik, rotasi dan waktu. dan aku cuman partikel kecil yang tersentil lalu ditinggalkan ketika aku sok protes dengan diam. karena pada kenyataannya, semua tetap berjalan sesuai rencana. semua bergerak dengan ada atau tidaknya aku. lalu diam tak ubahnya kekonyolan belaka. aku hanya seperti gadis kecil yang merajuk hanya karena tak kebagian topi pesta dengan mengunci pintu kamar ketika semua orang berpesta di luaran.
konyol bukan?
tapi lagilagi aku terlalu gengsi untuk mengakui betapa konyol rencana heroik yang telah kususun rapi itu. aku tak ingin mengakui bahwa aku telak kalah, bahkan sebelum rencana kudetaku dieksekusi.jadi kuputuskan saja untuk mengacuhkan waktu.
hal pertama yang kulakukan adalah melepas jam tanganku. lalu, aku mengganti jam dinding di kamar kost dengan jam dinding tanpa angka, hanya jarum2 yang bergerak samar. aku menyapih mataku dari ketergantungan untuk melihat jam, dan membiasakannya tak melihat pergelangan tangan dimana biasanya ada jam disitu.
tak mungkin aku terbebas dari waktu, tapi setidaknya aku tak terpenjara, kupikir begitu.
dan aku bersyukur jam kesayanganku telah rusak sebelumnya, ketika kubawa snorkeling di daerah nusa dua, sehingga tak ada rasa berat untuk melepas jam tangan murahan yang kubeli di pinggir jalan.
delapan tahun sudah kira-kira aku tak pernah memakai jam tangan. dan tak ingin memiliki jam tangan. hingga sabtu malam lalu, lelakiku tanpa rencana terlebih dahulu mengajakku setengah terpaksa ke gerai jam di sebuah mall daerah jakarta selatan. dengan perasaan terpaksa dan girang, akhirnya aku memilih sebuah jam tangan merah marun bergaya tomboi untuk kupakai.
seperti sebuah perkenalan baru, hari ini betapa canggung pagiku. di tengah meeting yang hening, aku terhenyak kaget mendengar suara detik yang kukira adalah detak jantungku. sempat jeda, sebelum kusadari itu adalah bunyi detik dari jarum jam tangan yang bergerak pasti.
jeg. jeg. jeg. jeg. jeg. jeg.
lalu tanpa sadar, kukira begitu juga detak nadi di tanganku, lalu di dadaku. lalu suara itu berputar-putar di kepalaku. beruntung suara rekan kerjaku memecah hening, mengaburkan suara jarum jam dan membebaskanku dari intimidasi waktu.
lalu kembali kusadari sesuatu. sialan!
Leave a Reply