ISTIRAHATLAH; AKU TAHU KAMU TERAMAT LELAH (RIP CHANDRA “BADAX” HADINATA)

ISTIRAHATLAH; AKU TAHU KAMU TERAMAT LELAH

(RIP CHANDRA “BADAX” HADINATA)

by: Gendo

“Ayo dah kita kerjain,” jawaban itu keluar tanpa protes saat ku tawarkan bantuanku untuk kesekiankalinya untuk mendampingi dia  menyelesaikan skripsinya. Biasanya akan banyak alasan yang keluar bibirnya bila kudesak dia untuk segera menyelesaikan skripsinya yang telah lama tertunda -mentok di Bab I-.

Itulah pembicaraan terakhirku dengan Badax (nama panggilan I.G.B. Chandra Hadinata), sebelum akhirnya dia meninggalkan aku untuk selama-lamanya, tanpa sempat mewujudkan impiannya menyelesaikan skripsi dan wisuda. Gagal ginjal plus demam berdarah akhirnya mengambil jiwanya.

——–

Aku sendiri agak heran kenapa pada saat itu Badax dengan antusias menyambut ajakanku untuk mendampingi dia menyusun skripsinya. Aku tidak menyianyiakan waktu, segera ku hunting bahan-bahan untuk kepentingan penulisan skripsinya, aku buat jadwal agar aku lebih leluasa mendampingi dia menulis skripsinya. Rak perpustakaan pribadiku kuobrak-abrik, kucari buku-buku yang sesuai untuk tema skripsinya. Sembari aku tuntaskan seluruh agenda pribadiku agar nantinya bisa konsen untuk damping dia.

Bahan sudah terkumpul, jadwal dan agendaku sudah dibuat, tinggal menyelesaikan agenda baik berupa kerjaan-kerjaan maupun yang telah aku jadwalkan sebelumnya.  Paling lama 2 minggu lagi aku sudah fokus damping dia untuk melanjutkan skripsinya.

Sampai kemudian tanggal 25 Februari 2011, pukul 08.00 Wita aku  terbangun dan kudapati SMS dari Jelantik bilang kalau dia  masuk ICU. SMS itu tercatat masuk ke HPku pukul 06.05 Wita. Aku bergegas bangun dan tanpa membuang waktu aku segera meluncur ke Rumah sakit. Aku mendapat firasat buruk, dan memastikan kondisinya sangat drop.

Begitu sampai di Rumah Sakit , ternyata sudah ada beberapa teman di sana. Aku tidak sempat menyapa semua teman yang ada disana. Aku hanya bertanya kepada Bin -karibku yang sudah duluan disana- keadaan dia, lalu aku bergegas masuk ICU. Kudapati sang Bunda sedang menunggui dia. Begitu aku datang sang bunda memelukku dan menangis. Aku tak bisa berkata, aku diam seribu bahasa. Aku hanya memeluk sang Bunda sambil mengelus punggungnya mengisyaratkan agar beliau tabah. Aku hanya terpaku menatap dia yang terbaring dengan di dipan putih, berselimut putih. Tubuhnya dialiri selang infuse dan banyak selang mesin medis.  Sementara di mulutnya dipasang selang oksigen dan entah selang apalagi, aku tidak terlalu ingat.

Tak terasa airmataku menetes. Pelan-pelan aku lepas pelukan dari sang bunda lalu kuhampiri dia. Kupegang tangannya, kuusap rambutnya. Dia hanya terdiam. Matanya setengah terbuka, namun tatapannya kosong. Paramedic yang ada disampingku bilang bahwa dia dalam keadaan tidak terlalu sadar, namun masih bisa merespon.

Aku dekati telinganya, dan berkata: “Yan, enggalan seger nah, kuatan rage enah, jeg gedenan bayune, yen be seger ajake pragatan skripsi e.” (Yan -panggilan akrabku ke dia- cepet sembuh ya, kuatkan dirimu ya, nanti kalau sehat kita selesaiin skripsinya). Mungkin dia mendengar suaraku, tiba-tiba matanya berlinang, pelupuk matanya penuh airmata, lalu kulihat ada gerakan kecil; sebuah anggukan kepala yang terkesan dipaksakan dengan sekuat tenaga. Tak kuasa aku menahan tangisku, dia ternyata merespos suaraku. kuminta paramedic yang ada disampingku mengambil tissue dan menghapus airmata dia yang jatuh ke pipi.

Sejenak aku menjauhi dipan itu, aku duduk di kursi di depan meja paramedic bersama sang Bunda sembari memandangi mesin yang memperlihatkan catatan medisnya. Tensinya tidak stabil -naik turun-. Sang bunda dengan tekun melihat layar monitor itu, sampai pada saat layar tidak bisa memperlihatkan lagi angka tensi Badax. Sang Bunda bertanya dengan kuatir tentang hal itu. Paramedic yang bertugas menyatakan bahwa keadaan tersebut tidak-apa apa.

Sang Bunda memintaku untuk tetap di dalam menunggui anaknya, lalu dia keluar ruangan. Aku terepekur menatap Badax, batinku perih melihat keadaanya. Ada ketidakrelaan yang sangat membuncah di hatiku. Tak berapa lama datang dokter yang langsung memeriksa keadaan Badak. Lalu dia hendak memberikan penjelasan, kupangil Sang Bunda untuk masuk. Saat Sang Bunda di dalam, dokter menyampaikan bahwa keadaan Badax sudah lebih baik dari sebelumnya, paru-parunya sudah lebih baik dan sudah mampu mengalirkan oksigen ke otaknya. Dokter juga menyampaikan bahwa darahnya Badax kurang bagus sehingga harus dipasang mesin lagi.

“saya mohon dokter bantu anak saya, saya serahkan semua penanganannya kepada dokter.” Jawab sang Bunda atas penjelasan dokter. Setelah itu kami berdua diminta keluar ruangan, karena dokter dan tim medis akan melakukan tindakan.

Aku duduk termangu di luar ruangan, sementara teman-teman Badax semakin banyak yang datang. Penjelasan dokter tadi membuatku agak lega. Aku berdoa semoga benar adanya. Aku berkoordinasi dengan temen-temen yang ada disana untuk mengatur jadwal menunggui di rumah sakit. Setelah itu aku keluar sebentar, karena aku harus ke DPRD bali untuk aksi menolak revisi Perda RTRW.

Aku baru ikut aksi 10 menit, tiba-tiba telponku bergetar. Kulihat nama Domang tertera dilayar HPku. Deg…dadaku terasa terhantam, firasatku buruk. Kuberanikan angkat telpon. Benar saja….Badax tidak tertolong lagi. Aku down..aku kasitahu beberapa teman-teman; Jelantik, Petradi, dan Haris tentnag berita ini . Kupamit dari aksi dan segera segera meluncur ke rumah sakit. Kukebut motorku, dan begitu sampai dirumah sakit, aku langsung menuju ke  ICU. Kupeluk tubuhnya, aku menangis sejadi-jadinya. Aku hampa, kumerasa ada bagian tubuhku yang hilang.

Hampir setengah jam aku memeluk tubuh dia, aku ingin memeluk sahabatku yang sudah melebihi seperti saudaraku sendiri. Aku menangis karena aku belum sempat memenuhi janjiku untuk membantu dia menyelesaikan skripsinya dan mewujudkan impiannya untuk wisuda.

Aku benar-benar berduka………………………………………………………………………….

Denpasar, 1 Maret 2011


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *