Menutup libur lebaran tahun 2011 ini saya berkesempatan untuk mengunjungi tempat penangkaran burung jalak Bali (Leucopsar rothschildi) atau yang biasanya kita sebut kedis curik yang berada di desa Sumberklampok, kabupaten Buleleng. Daerah penangkaran ini terletak di dekat pura Segara Rupek tepat di perbatasan kabupaten Jembrana dan Buleleng. Jalak Bali ini termasuk golongan burung yang langka dan berkembang endemik di Bali. Burung ini juga menjadi maskot dan kebanggan pulau dewata.
Sekilas sejarah dari penuturan warga setempat mengenai keberadaan burung ini di daerah tersebut, dikatakan bahwa awalnya pada tahun 1911 burung ini berasal dari daerah Bubunan lalu terbang ke arah barat dan bertahan sampai di daerah Sumberklampok. Pada tahun 1974 Jalak Bali di juga masih ditemukan di daerah Sumberkim dan saat ini paling banyak ditemukan di daerah Bungbung (dekat dengan pulau menjangan) karena cuaca dan pohonnya cocok untuk tempat hidup Jalak Bali. Mengenai habitat hidupnya, Jalak Bali ini umumnya dapat ditemukan di hutan wilayah Bali Barat dan suka tinggal di pepohonan seperti misalnya pohon kesambi, walikukun, malaka. Akan tetapi dengan semakin berkurangnya habitatnya untuk hidup, berdampak pula pada keberlangsungan hidup Jalak Bali, semakin punah lah mereka saat ini. Seperti perbincangan kala itu antara saya dan Bapak Muklis, salah seorang ahli burung di SumberKlampok. Ia mengatakan bahwa Jalak Bali kini memang semakin sulit ditemukan di alam bebas dan hampir punah. Kepunahan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti berkurangnya habitat alaminya karena terjadi pembabatan hutan, serta penangkapannya oleh pemburu liar. Selain itu karena geraknya yang lambat dan warna bulu yang mencolok menyebabkan dirinya mudah untuk dimangsa predator alami seperti elang, ular, dll.
Ga seperti Sitti Nurbaya, Jalak Bali dapat memilih jodoh/pasangan untuk dirinya sendiri. Kesetiaan terhadap pasangan mungkin bisa dicontoh nie dari mereka, karena mereka hanya akan berhubungan dengan satu ekor pasangannya saja. Caranya pun unik, saat menginjak fase remaja dan tinggal dalam anakan burung-burung ini dibiarkan tidur bersama, (eit, waspada. Don’t try at home) lalu mereka akan mendekati pasangan masing-masing yang akhirnya akan menjadi pasangan hidup mereka kelak. (so cwiiit… ^^). Untuk siklus perteluran (hadeeh, hehehe) biasanya sekitar 5 atau 6 bulan jika berada di alam liar, dan jika di penangkaran bisa sampai 3 bulanan atau setiap setelah telur/anaknya di ambil.
Jalak Bali juga bisa sakit looo, dan sakit yang sering di derita pada umumnya adalah mencret (eh kok sama kayak anak kost’an,heheh) serta cacat lahir yang disebabkan oleh pangan yang tidak cukup atau memang bawaan dari lahir. Cacat ini biasanya ada di bagian kaki yang agal lemah. Kata Bapa Abdul sih, sama kayak Polio pada manusia.
Oiya, karena Jalak Bali ini tergolong langka dan dilindungi undang-undang tidak semua orang bisa sembarangan melakukan penangkaran. Untuk kelompok penangkar di Sumberklampok ini juga demikian halnya. Jadi sebelumnya mereka mendapatkan pelatihan untuk perawatan dan pemeliharaan pada tanggal 25-27 November 2010. Selanjutnya warga mulai mengajukan permohonan ijin pada bulan Januari 2011 ke Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Bali dan pada 14 maret 2011 ijin untuk melakukan penangkaran pun turun. Pada tanggal 29 Mei 2011 bibit burung bantuan baru mulai masuk ke kandang. Jadi burung belum semua bertelur, sampai saat ini baru bertelur 4 penangkar. Untuk di kelompok penangkar belum ada yang menjual burung, karena baru tahap pemeliharaan. Oiya, untuk bibit burung ini didapatkan dari taman safari Bogor dan kebun binatang Surabaya yang dipinjam selama 2 tahun, lalu di kembalikan dengan sepasang anakan lagi. Dalam melaksanakan kegiatan ini banyak pihak yang dilibatkan misalnya dari Taman Safari dan Marine Park dan Asosiasi Pelestari Curik Bali sebagai pemrakrasa program ini, serta dari pihak Taman Nasional Bali Barat dan pemerintah Provinsi Bali.
FYI, untuk penangkaran Jalak Bali di Indonesia hanya ada 25 tempat, 12 di Sumberklampok, di daerah Gianyar yaitu oleh Mario blanco, nusa penida, solo, klanten, bandung dan beberapa daerah lainnya. Kalau untuk di alam liar bisa ditemukan di Taman Nasional Bali Barat dan di daerah Nusa Penida. Untuk menjadi penangkar burung spesies ini selain memilki ijin dari pemerintah, diperlukan juga ketelatenan dan kesabaran ekstra untuk merawat burung cantik ini. Burung ini harus diberi makan setiap 1 jam dengan menu yang telah ditetapkan dan dengan orang yang sudah dikenalinya. Waktu saya berkunjung ke kandangnya saja si burung langsung sembunyi masuk ke lobang kandangnya, agak malu-malu rupanya. Alhasil, ketika si pemberi makan biasanya ga bisa ngasi makan 1 kali saja, maka iapun ga mau makan dari orang lain atau orang yang baru dikenalnya. Makanan burung Jalak Bali ini adalah pisang kepok, jangkrik, dan ulat dengan biaya per bulan yang harus dikeluarkan sekitar Rp 400.000 untuk sepasang burung. (lumayan amhal juga yah,,,). Tapi hal ini juga sebanding dengan Pemasarannya yang memiliki Peluang besar, Seperti kata Pak Abdul, “Bahkan burung belum bertelurpun sudah ada yang memesan dari Jawa timur dan pecinta burung dari Denpasar”. Harga burung ini berkisar 30 juta/pasang, usia remaja sekitar 10 jutaan, dan kalo yang baru menetas harganya sampai 5 juta. Wah, mungkin ini juga yang menjadi daya tarik para pemburu liar untuk menangkapnya di alam bebas. Cantik, dan tinggi nilai seni dan ekonominya. Penjualan burung secara illegal juga masih terjadi saat ini, dengan harga 6 juta rupiah sampai 9 juta rupiah untuk burung yang siap bertelur. Umumnya perdagangan gelap ini terjadi di pulau Jawa seperti di Jawa timur dan Jawa tengah. Tapi kalau memang mau ikut memelihara burung ini, mending secara legal saja deh,,,resmi dan lebih aman. ^^b
Penangkaran burung Jalak Bali berbasis masyarakat ini sangat keren dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Tapi masih dirasakan adanya hal-hal yang menyulitkan warga selama mengikuti proses ini. Misalnya, kelompok penangkar belum punya dokter hewan khusus, jadi kebingungan kalau ada hewan yang sakit. Kalau mau bertanya ke taman nasional paling hanya diberikan dugaan-dugaan saja. Bukan solusi. Ya karena disana saja belum ada dokter hewan, jadi kalau ada hewan yang sakit langsung di bawa ke Denpasar. Kalau di Taman Nasional tiap minggu ada pemeriksaan feses hewan ke balai veteriner di Denpasar. Bedanya kalau di daerah Klaten dan Nganjuk ada masyarakat diberikan rujukan untuk menangani hewan yang sakit. Kalau di Sumberklampok semuanya masih dilakukan secara swadaya, jadi karena keterbatasan inilah jika ada yang sakit, maka hanya ditangani secara alami saja. Selain itu monitoring dari BKSDA yang selayaknya dilaksanakan sebulan sekali juga tidak berjalan efektif, sehingga komunikasi belum terlaksana dengan baik. Selain itu, adanya distribusi bibit yang tidak transparan, menyebabkan warga menjadi sulit untuk memperoleh bibit yang jumlahnya terbatas dan akhirnya menyebabkan pengeluaran untuk makan menjadi boros. Banyak pakan yang mubazir karena mereka hanya memiliki sepasang burung saja. Pakan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk beberapa pasang burung dalam satu periode pemberian, jadinya terbuang sia-sia.
Ya, terlepas dari hal-hal di atas masyarakat Sumberklampok tetap menaruh minat yang tinggi untuk ikut melestarikan burung Jalak Bali ini di daerahnya. Mereka juga mengharapkan jika desanya bisa menjadi desa wisata pelestarian Jalak Bali dengan daya tarik menjadi desa penangkar ini barulah mereka mengaharapkan ekonomi masyarakat bisa ditingkatkan. Wah, keren juga ya, jika setiap warga bisa memanfaatkan potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di daerahnya untuk ikut melestarikan alam. Sense Belonging’nya pasti lebih kerasa banget, dan tentunya bisa mencegah pemburu liar ataupun bisa juga nieh menurunkan pengangguran.
Dijamin deh ga bakal Kapok, Yuk melali ke Sumberklampok, apang nawang kedis Curik Bli Mbok, hehehehe (kok kalimat ini rada aneh ya,^^V)….
Huwaaa…liburan kali ini asiik banget,,,oiya,,selamat Lebaran ya teman-teman semoga senantiasa di Ridoi Kerahayuan.
ini oleh-oleh dari Doi :
Leave a Reply