CURHAT TENTANG “SESAT HUKUM” [1];
“ADA APA PAK POLISI?”*
By; Gendo
Praktek peradilan pidana di Indonesia dari hari ke hari semakin aneh saja (kalau tidak mau disebut gila). Tentu saja ujung-ujungnya adalah terjadi praktek peradilan sesat. Proses hukum yang keluar dari seluruh tatanan hukum baik secara formil maupun secara hakiki. Hukum terkesan menjadi komoditas dan tidak lagi berpihak bagi kebenaran dimana hukum tidak lagi bekerja untuk keadilan tapi bekerja bagi “pemuasan kekuasaan”.
Beribu-ribu kali kening saya mesti berkernyit, alis menyatu dan kepala berkerut-kerut -pusing tujuh keliling-. Semua itu akibat praktek peradilan pidana yang sangat aneh dan tidak ditemukan baik secara tekstual maupun kontekstual dalam ilmu hukum dalam suatu perkara pembunuhan di Denpasar.
Seseorang (sebut saja si A) dituduh menjadi otak dan sekaligus membunuh pasutri di Denpasar hanya berdasarkan keterangan 2 orang tersangka yang sebelumnya telah ditangkap aparat kepolisian. Lalu si A tersebut ditangkap tanpa surat penangkapan, tanpa menunjukan surat tugas oleh pihak kepolisian. Anehnya selama masa penangkapan orang tersebut diperiksa tanpa tahu statusnya apakah sebagai saksi, atau tersangka. Pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa didampingi penasehat hukum. Permintaan untuk didampingi oleh penasehat hukum ditolak oleh penyidik dengan alasan orang itu masih saksi dan bukan tersangka.
Setelah diperiksa selama 31 jam (lebih dari 1 x 24 jam) orang ini dilepas dengan status sebagai saksi. Polisi berpendapat tidak cukup bukti, mengingat si A pada waktu kejadian berada di sebuah Mall di Denpasar bersama keluarga besarnya, bertemu dengan seorang temannya di Mall tersebut. Sehingga alibinya sangat kuat.
Akan tetapi tindakan penyidik (kepolisian) tentu saja menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.
“Bagaimana mungkin seseorang yang diperiksa sebagai saksi oleh pihak kepolisian dapat dilakukan upaya paksa; diperiksa tanpa didampingi pengacara, lalu rumahnya digeledah tanpa surat penggeledahan, lalu ada penyitaan?” Sampai lemas tangan saya membuka KUHAP, mencari-cari literature yang bisa menjelaskan kondisi ini, tapi tidak saya temukan satupun referensi yang mampu menjawab perilaku puhak penyidik.
Pertanyaan-pertanyaan muncul silih berganti. Benarkah terhadap saksi pihak penyidik dapat melakukan upaya-upaya penggeledahan , penyitaan? Atau dapat kah dibenarkan sikap penyidik yang menolak permintaan seseorang untuk didampingi penasehat hukum dengan alasan bahwa seseorang tersebut masih berstatus saksi dan bukan tersangka?
Saya makin terhenyak kaget bukan alang kepalang tatkala mengetahui fakta lain yang lebih aneh. Orang tersebut juga diambil sample kuku dan rambutnya oleh pihak penyidik tanpa disertai berita acara! “wahhh, ini benar-benar aneh, betapa pihak penyidik sangat tidak professional.” Pikir saya. Tentu saja pengambilan sample itu digunakan untuk test DNA.
“Lalu mengapa tindakan itu harus dilakukan tanpa berita acara? Bagaimana mungkin seorang yang diperiksa dalam status sebagai saksi diambil sample kuku dan rambutnya?”
Sepengetahuan saya, tindakan-tindakan itu hanya dilakukan bilamana seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan bukan terhadap seseorang yang diperiksa dan diminta keterangannya sebagai saksi? “wahhhh ilmu dari mana nih?” pikir saya berulangkali.
Tindakan mengambil sample ini malah menimbulkan kecurigaan mendalam dalam diri saya: “jangan-jangan pihak penyidik nanti malah menggunakan sample tersebut untuk merekayasa alat bukti?” kekuatiran ini timbul mengingat dalam praktek hukum pidana di Indonesia kerap terjadi rekayasa hukum terbukti dengan banyaknya peradilan sesat yang telah terjadi.
Terlebih selanjutnya dalam proses penyidikan kerja dari pihak penyidik semakin aneh. Pada waktu gelar rekonstruksi, ternyata si A masih dimasukan dalam rekonstruksi sebagai tersangka dan seolah-olah terlibat dalam pembunuhan itu. “Kok bisa-bisanya orang itu disebutkan sebagai tersangka, padahal status formalnya adalah saksi?” tidak habis-habisnya saya berpikir.
Yang lebih aneh, ternyata peran si A dalam rekonstruksi diperankan oleh pihak kepolisian. Aneh bin ajaib, si A dimasukan dalam rekonstruksi sebagai tersangka lalu diperankan oleh polisi. “Ada apa ini!”: saya berkata setengah berteriak. Padahal si A ada di tempatnya, tidak melarikan diri (bukan buronan), tidak sakit dan juga tidak mati. Apabila polisi percaya dengan keterangan 2 tersangka tersebut dan memasukan dalam rekonstruksi, mengapa si A harus diperankan oleh polisi?
Belum lagi polisi menggunakan jenis mobil yang berbeda dalam rekonstruksi tersebut. Tuduhan 2 tersangka terhadap si A adalah si A menjmeput salah satu tersangka dengan mobil innova warna biru dan tersangka itu menyatakan dia masuk lewat pintu belakang.
“Nah lo, emang sejak kapan mobil innova bisa dimasukin secara normal dari pintu belakang?”
Bukannya menggunakan mobil innova biru sesuai keterangan 2 tersangka tersebut, tetapi penyidik malah menggunakan mobil kijang super. Tentu saja keterangan 2 tersangka menjadi bisa terlaksana di rekonstruksi, karena kijang super memang bisa dimasuki dari pintu belakang. “Hmmmmmm ……” saya menghela nafas panjang.
Dalam perkembangannya, pihak kepolisian ternyata mengirimkan SPDP ke Kejaksaan Negeri Denpasar, dan menyatakan si A sebagai Tersangka. “Aduhhhh logika apa pula ini?” saya setengah tidak percaya. Berarti seluruh bukti, alibi dari si A diabaikan pihak kepolisian, bahkan keterangan 2 Tersangka yang tidak logis dan tidak berkesuaian yang justru dipercaya penyidik.
Arrrrrrrrrrrrrrrrrrrggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggghhhhhhhhhhhhhh.
Denpasar, 22 Juli 2010
*ditulis dengan penuh kebingungan dan keprihatinan
Leave a Reply