bittersweet

Saya sedang duduk di metromini jurusan Pasar Minggu – Mampang, ketika seorang teman mengirimkan pesan, bahwa saat yang sama dia sedang duduk-duduk sambil minum kopi di daerah Gadjah Mada, dekat bioskop tua “Wisata” di Denpasar.

Katanya, “kopi di sini ga enak.”

Saya hanya tersenyum menerima pesan pendek itu, sebelum akhirnya menjawab, “Susah untuk menemukan kopi enak di Bali .”

Tentu saja saya tak menyebutkan tentang kopi Banyuatis atau Kedai Kopi Bali, tempat favorit yang saya kunjungi setiap awal bulan, ketika gajian tiba. Memang, di Bali sangat susah untuk menemukan kopi enak di pinggir jalan. Kopi atau teh, sama susahnya. Jika mau yang enak, maka itu mahal. Setelah dikemas, harga jual akan melonjak, begitulah hukum pasar bekerja. Jangan dibandingkan dengan kopi-kopi angkringan di Jogja atau wedangan Solo, karena setiap tempat memiliki ceritanya sendiri-sendiri.

Begitu pula Jakarta. Sekian bulan sudah dan malam itu saya menyadari bahwa memang saya telah jatuh cinta pada kota ini.

Di bangku nomer tiga, pada metromini jalur 75, saya sedang menyandarkan kepala di jendela ketika tiba-tiba ada perasaan asing yang menyelinap diam-diam di sela keasyikan saya menikmati pemandangan di pinggiran jalan. Jangan bayangkan tentang senja kekuningan, karena waktu itu sudah menunjukkan jam 9 malam. Juga tidak ada bulan. Untuk musim yang tak pasti dengan mendung seperti ini, melihat bulan adalah keajaiban. Pemandangan di sini adalah para pedagang, pengamen jalanan, ibu-ibu pulang pengajian.

Bukan pemandangan yang membuat saya terhenyak, sebab tak ada pemandangan yang bisa tiba-tiba menonjok benak saya. Tapi, demikianlah adanya, muncul sebentuk perasaan yang datangnya sekejap saja: perasaan akrab sekaligus asing.

Itu bukan kali pertama saya naek metromini, bukan pula pertama kali saya melihat pemandangan di jalanan Jakarta. Tapi, malam itu, semua terasa beda. Saya menemukan diri saya sedang menikmati semuanya. Iya, menikmati. Seakan itu adalah sepotong cheese cake dengan cream yang meleleh lembut di kerongkongan.

Saya menikmati setiap sensasinya. Tak ada lagi was-was yang memaksa saya memeluk erat tas atau mempererat pegangan ketika sopir metromini menarik pedal gas. Saya merasa mengalir begitu saja, mengikuti ritme metromini Jakarta yang terkenal akan keberingasannya.

Saya merasa begitu nyaman dengan scene “duduk di metromonini, melihat lewat jendela, tidak memikirkan apa-apa, tidak menghawatirkan apa-apa, harus turun di mana, dsb, dsb.”

Anehnya, perasaan hangat itu malah membuat saya menjadi asing dengan perasaan itu sendiri. Ya, merasa asing, karena tidak biasanya saya merasa begitu. Ada sedikit perasaan bersalah, juga rasa lega, menyadari bahwa saya telah menerima kota ini dengan segala kemungkinannya.

Kombinasi perasaan akrab yang asing itu mungkin seperti seseruput kopi, rasa pahit yang lama kelamaan meninggalkan rasa asam dan….

Ah, sungguh, saya tak tahu dengan cara apa mesti mendeskripsikannya. Barangkali, kenyataan bahwa saya belum sanggup mendeskripsikannya adalah bukti tak terbantah bahwa kota ini masih belum sepenuhnya saya pahami, belum seutuhnya saya mengerti.

Persoalannya, mungkinkah kita bisa memahami kota seperti Jakarta dengan seutuhnya dan dengan sepenuhnya?


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *