HAKI (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia) Komisariat Bali Jumat(04/12) mengadakan kumpul-kumpul untuk anggota dan pengurusnya di sekretariatnya Jl. Sekar Jepun No.4 Denpasar. Tujuannya disamping perkenalan kantor, juga untuk sekedar sharing antar anggota mengenai hal-hal yang berhubungan dengan profesi Civil Engineer di masa kini.
Tokoh Structural Engineer di Bali yang hadir berasal dari berbagai kalangan baik dari akademisi maupun praktisi Structural Engineer yang tidak asing lagi, diantaranya adalah Pak Made Sukrawa, Pak Nyoman Sutarja, Pak Ketut Ardhana, Pak Wayan Dana , Pak Rudi (PT. Satria Cipta) dan lainya.
Suasana penuh keakraban, penuh canda dan tawa (tetapi tetap saja kelihatan serius..he..he), maklumlah diantara anggota banyak sudah saling mengenal sebelumnya. Banyak hal yang diperbincangkan, mulai dari geliat dan kiprah organisasi HAKI komda Bali ke depan, uneg-uneg dan permasalahan yang dialami di lapangan, sampai pada perbincangan “celah bisnis” yang mungkin….he..he.
Topik yang cukup penting yang diperbincangkan adalah mengenai nasib Structural Engineer di masyarakat. Pak Ketut Ardhana yang selama ini dikenal sebagai praktisi di bidang konsultansi dengan spesialisasi Structural Engineer yang sudah banyak dikenal dikalangan Ekspatriat dan pemilik project asing mengungkapkan beberapa realitas yang dijumpai di lapangan. Dikatakan bahwa posisi tawar Structural Engineer di Bali masih sangat rendah bahkan masih dikelompokkan sebagai masyarakat profesional kelas dua. Profesi structural engineer masih belum bisa diandalkan untuk bisa hidup layaknya profesi lain, bahkan dilontarkan pernyataan bahwa di Bali tidak ada Badan Usaha yang bisa hidup dengan murni sebagai Structural Engineer saja. Hal tersebut diakibatkan karena profesi structural engineer sering dianggap hanya sebagai profesi “tukang hitung” saja, padahal sebenarnya seorang engineer adalah “designer” dengan tanggung jawab seumur hidup dan pantas dihargai sama dengan profesi lain misalnya arsitek atau dokter.
Kenapa semua itu terjadi,….Pak Made Sukrawa mengemukakan beberapa alasan diantaranya karena kurangnya publikasi diri seorang Engineer, kurangnya keberanian mendobrak sistem dan dogma-dogma lama, tingkat tantangan Structural engineer di Bali yang tidak begitu besar untuk menempa diri, dan yang terpenting (dan ujung-ujungnya ini lagi….) adalah peraturan yang berlaku di sistem pemerintahan kita. Dicontohkan pada proyek pemerintah khusunya di Bali, paket2 proyek perencanaan/design dikemas kedalam satu paket dan selanjutnya diserahkan ke sebuah konsultan umum yang sudah mencakup perencanaan arsitektur, sipil bahkan sampai Mecanical Electrical. Terang saja yang pertama kali diperlukan adalah tenaga ahli yang notabene berhubungan dengan konsep yaitu arsitek (maaf bukan bermaksud membuat dikotomi Arsitek-Sipil).
Masalahnya setelah design arsitektur selesai, pekerjaan struktur juga dikerjakan oleh konsultan tersebut yang memang boleh mempunyai tenaga ahli Sipil juga (walaupun banyak diantaranya yang hanya tercantum nama saja..he..he). Mungkin ceritanya akan jadi berbeda jika sebuah proyek diserahkan kepada ahlinya masing-masing, demikian juga dengan Konsultan Perencana tidak boleh mencakup semua disiplin ilmu teknik kedalam suatu badan, biarlah konsultan bangunan itu memiliki spesialisasi tertentu saja misalnya Konsultan arsitektur, Konsultan Sipil, Konsultan Mekanikal & Elektrikal dan lain-lain. Jadi setiap proyek pemerintah akan ditangani oleh beberapa Konsultan dengan spesialisasi masing masing (biar panitia proyek repot dikit..he..he ) seperti halnya project2 swasta (asing) yang sudah melimpahkan setiap pekerjaan masing-masing kepada ahlinya, disinilah setiap profesi dihargai secara proposional sehingga produk yang dihasilkan bisa terjamin baik.
Pertanyaanya apakah asosiasi profesi HAKI nggak bisa memberi sedikit presure untuk mengubah sistem tersebut?….Yah, berat juga nih..!
Wah topik yang melelahkan, ceritanya bisa panjang dan muter-muter ….!!!
*(Foto dicomot dari sini)
Leave a Reply