Bagi turis, semua terlihat begitu indah di Bali, tetapi tidak ketika mulai menjadi warga.
Sekitar akhir Juli tahun ini, saya memutuskan untuk mencoba merantau di tempat yang baru, area Negara, Jembrana. Tujuan saya pribadi untuk pindah, keluar dari comfort zone pekerjaan sebagai dokter perusahaan di sebuah tambang di Kalimantan, adalah untuk mulai menyesuaikan diri dengan kebudayaan di sini.
Kebetulan pasangan saya warga di sini. Pertemuan kami dimulai di Kalimantan. Setelah saya berhenti bekerja, pengorbanan saya pun dimulai.
Saya jauh pergi meninggalkan kampung halaman di suatu daerah di Sumatera untuk memulai kehidupan baru di sini. Suatu hal yang cukup mengagetkan adalah ketika saya terpaksa mengganti kacamata saya ketika melihat Bali.
Mengapa demikian?
Ketika Anda menjadi turis domestik dan menghabiskan uang di sini, semua hal terlihat begitu indah dan menyenangkan. Namun, saat Anda memutuskan mencari nafkah dan menetap, pandangan harus terganti seketika.
Proses demi proses, dari kependudukan hingga mencari pekerjaan, sering menguras air mata saya. Bahkan ketika saya di jalan, berjalan kaki, saya menangis karena kelelahan dan menunggu tidak tentu akhirnya.
Proses kependudukan merupakan hal paling utama harus diurus terlebih dahulu. Apabila hal ini tidak settled, bisa merugikan di kemudian hari. Tidak ada satupun tempat kerja yang mau menerima Anda, setinggi apapun lulusan Anda, apabila tidak ada Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) di Negara. Ini semacam Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM) kalau di Denpasar.
Kerepotan dimulai ketika orangtua saya salah membuat surat. Ternyata yang dibutuhkan untuk syarat SKTS adalah surat buruh kerja, bukan surat pindah. Surat pindah membuat saya tercabut dari Kartu Keluarga (KK) orangtua sehingga saya harus membuat KK baru dan KTP baru.
Saya baru menemukan akar masalah sekitar pada akhir September, menjelang surat pindah tersebut kedaluarsa. Kepala lingkungan tempat saya tinggal untungnya baik sekali, hingga mau berulang-ulang menjelaskan dan membantu.
Belum selesai masalah kependudukan, ada masalah baru: tempat kerja. Believe me, seumur hidup saya bekerja sebagai dokter umum, baru kali ini saya menghamba dan berkeliling ke banyak tempat memohon-mohon agar saya dapat diterima bekerja.
Sepatu olahraga banyak membantu saya berkeliling Negara. Ojek sangat jarang dan angkot sangat susah didapat sedangkan saya belum bisa membawa kendaraan.
Pernah, saya berjalan 5 km, total 10 km bolak balik. Sepanjang perjalanan pulang saya menangis dan meringis kesakitan karena kaki luka semua memakai sandal yang salah. Sebenarnya bukan luka itu yang membuat saya sedih, tetapi kenyataan bahwa saya harus menghamba seperti ini yang membuat hati miris.
Find a descent job as a general practitioner is really hard in Negara.
Saya sudah menyerahkan datadiri (CV) dan lamaran pekerjaan ke empat rumah sakit. Saya pikir dengan banyak pengalaman kerja, workshop, simposium yang banyak saya ikuti, belum lagi untuk urusan Surat Tanda Registari (STR) sudah terbarui, proses mencari kerja akan lebih mudah.
Namun, apa jadi kenyataan berbicara sebaliknya?
Di satu rumah sakit, saya harus menghadap empat kali baru lamaran saya digubris. Di tempat lain, dua kali dan hingga saat ini tidak ada respon. Di tempat lain yang baru saja saya coba follow up, saya harus menangis dulu di sana baru saya bisa bertemu dengan atasannya. Di tempat lain, yang katanya baru dan butuh banyak tenaga medis, tidak ada respon.
Tips untuk teman sejawat yang mau melamar kerja sebagai dokter umum atau bidang kesehatan lain: jangan pernah menaruh lamaran kerja di resepsionisnya. Pengalaman pahit saya; lamaran Anda tidak pernah naik ke direksinya. You have to hand it to them by yourself.
Jujur saja, hal ini tidak pernah saya temui di kota lain. Biasanya dengan mengirimkan lamaran dan CV, baik via pos atau via email, cepat sekali respon, maksimal seminggu pasti ada jawaban.
Paling tidak, di kota lain, masih bisa menghargai profesi seseorang.
Bukan memaksa atau bagaimana, dengan “no answer” kind of answer, itu sangat tidak menghargai perasaan pelamar kerja. At least, berikan respon APAPUN itu. Entah diterima, ataukah tidak.
Tadi setelah saya bertemu salah satu direksi, dia beritahu saya, “no answer” means NO. Anda ditolak untuk bekerja. Tanpa wawancara, tanpa apapun. Lamaran Anda dianggap angin lalu.
Dalam hati saya, apakah begini cara profesional bekerja? Menolak seseorang pun harap memakai work ethic, paling tidak ada panggilan sebagai follow up dan berikan jawaban tersebut. Atau apabila memang profesional, dapat diuji terlebih dahulu. And then, you give me that answer, NO.
Sempat saya berpikir, apakah karena status KTP bukan warga asli, lantas saya dihalangi untuk bekerja dan mengabdi sebagai tenaga kesehatan di sini? Apakah dokter di Negara jumlahnya over-capacity hingga jumlahnya melebihi penduduk satu kota tersebut sehingga tidak bisa lagi menerima lamaran kerja?
Soal status KTP. Jujur saja saya bingung. Saya bukan warga negara asing (WNA). e-KTP terdaftar di database nasional. Saya tahu karena saya sudah memeriksa pada saat pre Pilpres 2014 kemarin. e-KTP ini berlaku di seluruh Indonesia, termasuk Bali, bukan?
Oke, Bali menetapkan pembuatan identitas selain eKTP, mungkin untuk proteksi penduduk oleh karena ada isu keamanan yang dibuat warga yang kebetulan pendatang. Namun, apakah harus dipersulit seperti ini? Syukurnya, hal ini sudah hampir settled, dengan berbagai bantuan dan harus menangis dahulu (lagi).
Call me “manja” or whatsoever, tapi saya benar-benar mengusahakan semuanya dari nol dan oleh diri saya sendiri. Keluarga calon pasangan memang ada, namun mereka tidak bisa berbuat banyak untuk mengurangi kerepotan administratif ini. Doa dan dukungan mereka membantu saya, tentu saja. Paling tidak ketika saya patah semangat, ada yang menyemangati sehingga saya bisa berpikir kembali.
Untuk membuat praktik pribadi, membutuhkan biaya yang lumayan, dan terutama koneksi ke rumah sakit. Toh, nantinya kalau ada masalah, akan dirujuk ke rumah sakit juga bukan?
Titik mula bagi seorang dokter untuk membuka praktik sendiri tentu harus bekerja dahulu di instansi kesehatan. Selain untuk membuka jaringan kerja, tentunya juga sebagai tempat refresh dan remind ilmu yang dipelajari selama praktik sebelumnya.
Bagaimana saya mau memulai dan merintis usaha sendiri apabila titik mulainya tidak ada?
Sempat dalam keputusasaan, kekosongan pikiran, jari mulai memencet layar hape, menuliskan keyword “lowongan kerja di Negara” pada laman Google. Terpikir sepintas di otak saya, mungkin sebaiknya saya lepas gelar pendidikan dan bekerja di profesi lain. Entah jadi sales, SPG atau customer service, mungkin jadi admin, untuk menyambung hidup.
Entahlah.
Siang sudah hampir berlalu, menunggu kepastian yang tak menentu. For the first time in my life, i feel regrets for being a doctor. [b]
The post Betapa Susahnya Memulai Hidup Baru di Bali appeared first on BaleBengong.
Leave a Reply