Bersama-sama Merumuskan Etika Dunia Maya

Fasilitator memecah belah kami. Dua kali!

Setelah mengadu dalam dua kelompok besar, dia memecah kami dalam tiga kelompok lebih kecil. Pada tahap awal, Idaman Andarmosoko, fasilitator diskusi kelompok terfokus atau focus group discussion (FGD) tersebut, memecah sekitar 50 peserta dalam dua kelompok besar, pro dan kontra. Dua kelompok ini harus berdebat lewat kartu tentang setuju tidaknya ada etika di dunia maya.

Maka, sesi sore diskusi itu pun riuh oleh dua kelompok yang saling serang dengan argumen masing-masing. Tiap argumen ditulis di selembar kertas meta plan dan harus dilawan pula dengan argumen yang juga ditulis di kertas meta plan.

Kami memperdebatkan tema yang memang kontroversial, perlukah etika di dunia maya.

Indonesian Information and Communication Technology Partnership (ICT Watch), lembaga non-profit di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang mengadakan diskusi selama 12 jam di Hotel Harris, Tebet, Jakarta tersebut. Selain wakil komunitas blogger dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, bahkan Ambon, hadir pula komunitas online maupun jejaring sosial lain, seperti Kaskus, Akademi Berbagi, dan seterusnya.

Untuk amunisi diskusi, dari pagi hingga sore, ada materi dari praktisi TIK dan kebebasan informasi di Indonesia. Misalnya dari Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia (APJII), Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Google, dan lainnya. Para pembicara ini memberikan gambaran situasi perkembangan TIK dan kebebasan informasi di Indonesia saat ini.

Materi dari para ahli ini jadi bahan diskusi terfokus, agenda utama kegiatan ini, pada sesi sore dan malam. Dan, itu tadi, peserta kemudian dipecah dalam dua kelompok pada awalnya, pro dan kontra.

Rekayasa
Kelompok pro sepakat adanya panduan etika di dunia maya antara lain karena anak-anak bisa jadi korban, belum efektifnya aturan yang ada, dan seterusnya. Kelompok kontra justru sebaliknya, tidak sepakat adanya kode etik di dunia maya ini karena sudah ada aturan formal, seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain itu, etika juga tak perlu karena sifatnya sangat konteksual, tergantung situasi lokal.

Debat ini hanya rekayasa fasilitator. Kami dipaksa pro atau kontra. Tidak ada wilayah abu-abu. Eh, tapi ternyata seru. Tiap kartu yang disampaikan harus dibalas dengan kartu lain yang relevan. Jadinya nyambung. Logis pula.

Hasil perdebatan dua kelompok besar ini kemudian dinilai satu juri. Menurutnya, alasan pro lebih jelas dan logis. Kelompok pro ini menang. Toh, hasil debat kartu ini tetap dibawa untuk dibahas pada tahap selanjutnya, sesi malam.

Dengan peserta yang lebih sedikit, sekitar 35 dari sebelumnya 50an, peserta kini dibagi jadi tiga kelompok. Mereka mendiskusikan tema tersendiri, yaitu kelompok pertama dengan topik perlunya etika online, kelompok kedua tentang masalah-masalah di dunia maya, dan ketiga tentang prinsip dasar etika di internet.

Selama sekitar 30 menit, tiap kelompok mendiskusikan temanya masing-masing. Lalu, pada akhirnya, semua dikompilasi jadi sebuah dokumen. Aku agak lupa bagaimana detail di dua kelompok lain. Aku hanya ingat apa saja yang kami diskusikan di kelompok ketiga, prinsip dasar etika di internet.

Titik Penting
Dalam diskusi diikuti sekitar 9 orang ini, kami sepakat bahwa mau di mana pun dan kapan pun, tetap ada etika umum di dunia maya. Namanya etika, dan ini bukan kode etik yang amat mengikat pada profesi tertentu, maka dia juga amat cair.

Inilah di antaranya prinsip dasar internet tersebut bagi siapapun ketika dalam jaringan (daring) alias online mereka harus menjunjung tinggi dan menghormati (1) nilai kemanusiaan, (2) kebebasan berekspresi, (3) perbedaan dan keragaman, (4) keterbukaan dan kejujuran, (5) hak individu atau lembaga, (6) hasil karya pihak lain, (7), norma masyarakat, dan (8) tanggung jawab.

Delapan prinsip utama etika berinternet ria itu jadi salah satu poin penting yang dirangkum dalam Dokumen Tebet. Dokumen ini, menurutku, bisalah disebut sebagai titik penting dalam penentuan etika bersama di dunia maya Indonesia. Menariknya, dia lahir dari komunitas itu sendiri dan didiskusikan bersama. Ini kali pertama kali bagiku.

Dan, hei, ini sekali lagi hanya etika umum. Dia tidak mengikat siapa pun. Dia tak seperti UU ITE yang justru lebih banyak memberikan ancaman dan hukuman daripada dorongan bagi warga dunia maya. Etika umum ini lahir dari kesepakatan bersama dan amat terbuka untuk didiskusikan lagi kapan saja oleh siapa saja.

Jadi, kalau ada komentar terhadapnya, jangan ragu untuk menuliskannya.

Ilustrasi dari Naked Through.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *