#MenjagaApi
Usia saya masih 18 tahun ketika saya dikirimkan merantau oleh orang tua saya ke salah satu kota besar di Indonesia, Denpasar. Saat itu pengetahuan dan wawasan saya tentang hidup samasekali nihil. Masih kampungan, polos, dan cuma ingin senang-senang. Saya di biarkan memilih kampus mana saja, kuliah apa saja yang saya mau. Saat itu saya tidak menemukan adanya kekeliruan akan pilihan hidup yang saya mulai. Cita-cita sejak datang dari kampung adalah mempelajari jurnalistik karena saya gandrung menulis atau sastra sajalah sebab saya suka bersyair. Dan alangkah tololnya saya kemudian mengambil kuliah Tourism Business karena performa marketing dari lembaga swasta yang kemudian menjadi tempat belajar saya selama dua tahun tersebut sungguh luar biasa. Iming-iming lulus langsung kerja menggerogoti isi kepala saya yang saat itu masih belia, menghasilkan uang sendiri juga cita-cita. Hebatnya, setelah lulus kuliah saya pun mendapatkan pekerjaan. Seiring waktu berjalan, mengenal banyak hal dan banyak manusia dengan beragam cerita malah muncul penyesalan. Cukup lama saya menyesali keputusan awal saya tadi, saat itu usia saya sudah menginjak kepala dua lebih. Saya sudah banyak berpindah tempat kerja, bergabung dalam banyak komunitas, membaca dan mencari tahu banyak hal hingga akhirnya saya bertanya-tanya “apa yang sesungguhnya saya lakukan dalam hidup saya ini?” atau ganti pertanyaan sajalah “apa yang sebenarnya saya inginkan dengan hidup saya?”
Orang tua saya bingung melihat jalan hidup saya, akan tetapi mereka seperti biasa tidak ingin masuk terlalu dalam mencampuri hidup saya karena mereka mengenal saya dengan baik. Ibu saya pernah berkata “tanggung jawab saya sebenarnya sudah selesai saat saya mengeluarkanmu dari perut saya, selepas itu tanggung jawabmu sendiri dengan duniamu”
Kadang saya bangga dengan ucapan Ibu, tetapi kadang juga tidak. Beliau membuat saya merasa punya Induk semang yang keren karena membuat saya bebas sebebas-bebasnya menentukan hidup tetapi juga membuat saya di kerubungi takut yang akut karena kehilangan pegangan. Akan tetapi kebingungan memaknai kedua hal yang bertolak belakang tersebut yang membuat saya makin lebih gemas menapaki hidup. Saya menjadi pribadi yang lebih tangguh dari waktu ke waktu karena saya terus ngotot melakukan apa saja yang ingin saya lakukan, bersamaan dengan itu siap sedia menerima resiko, dampak dari segala tindakan yang saya ambil. Apakah itu baik? Bersyukur. Apakah itu buruk? Coba lagi.
Usia 25 Tahun, saya baru memutuskan untuk bersekolah lagi. Menggapai apa yang seharusnya saya lakukan dengan hidup saya. Saya memilih kuliah lagi di jurusan Ilmu Komunikasi. Sebagian orang menjuluki saya “gila” aneh kamu, buang-buang waktu. Pengalamanmu itu di pakai saja mencari pekerjaan yang tepat. Saya sendiri haus akan pengetahuan, pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk saya. Bukan karena ijazahnya, namun tekanan dan tantangan yang kita dapatkan sembari belajar itu yang membuat kita menjadi manusia yang berbeda. Kita bisa belajar dimana saja, kapan saja dengan siapa saja, tetapi kita pasti kebingungan saat kita sendiri tidak tahu target yang ingin kita capai, test yang menguji pemahaman kita tentang pengetahuan yang kita pelajari itu samasekali tidak ada, dan belum tentu kita di akui memiliki kemampuan tersebut apabila belum lulus dari ujiannya. Waktu mungkin bisa menjadi penguji paling absolut tetapi bangku sekolah juga menjadi standard eksistensi. Sistem sosial kita memperlihatkan itu dengan gamblang.
Pada akhirnya, saya ikhlas dengan penyesalan saya dan menjalani keputusan atas pilihan saya yang kesekian. Belajar sambil bekerja, belajar di kampus, belajar di tempat saya bekerja, belajar di tempat saya bergaul, belajar dalam komunitas dimana saya bergabung, banyak hal yang saya temukan dan terus saya gali. Semuanya demi tujuan yang akhirnya saya pahami “memaknai hidup”
Manusia ingin itu, ingin ini, ingin segala yang pada intinya hanya satu “kepuasan hidup = bahagia”
Saya sempat membuat konsep pemikiran sendiri, tentang mimpi dan realita yang sedang saya jalani saat ini. Ada kebutuhan jasmani, ada kebutuhan rohani, ada urusan lahiriah, ada urusan bathiniah, ada materil, ada spiritual. Sementara itu, masing-masing kita di bekali dengan KEMAMPUAN / BAKAT / TALENTA khusus yang sudah kita bawa bersama sejak lahir.
Saya bekerja saat ini demi kebutuhan hidup saya, karena saya sadar saya manusia dan hidup, juga berinteraksi demi eksistensi, itu REALITA. Saya bersekolah lagi, membekali diri dengan pendidikan lagi karena saya juga sadar dan yakin dengan keinginan saya, saya memiliki MIMPI yang harus saya wujudkan, cita-cita yang selalu saya idam-idamkan. Di suatu masa, entah kapan, kedua hal yang sedang saya lakukan saat ini akan saling bersinggungan kemudian (mungkin) mereka berkompromi atas persetujuan saya tentunya dan mereka menyatu. Itulah PENCAPAIAN saya. Semoga saat itu saya mendapatkan bahagia yang sejati. Semesta mendukung segala perkara baik. ({})
Leave a Reply