AKHIRNYA (*Sebuah Refleksi)

Awal tahun yang mengagumkan 🙂
Pengalaman mengejutkan tiba lebih awal, yaitu sebuah hubungan yang saya namai dengan “nekat bodo” ah apalah apalah hahahaha…

Saya mengiyakan tawaran lawan jenis ini karena menghargai masa lalu yang pernah kami lewati bersama dan niatnya yang waow patut lah dicoba, bahwa ia ingin menjalani sesuatu yang berbeda dan serius. Maka saya menanggapi hal tersebut dengan sedikit antusias. Sedikit.

Kemudian kejadian berikut yang sejujurnya sudah saya duga sebelumnya. Bahwa, lawan jenis yang saya percaya memiliki keinginan berubah ini ternyata hanya sedang membohongi diri sendiri. Saya tertawa geli karena kekonyolan ini, sembari mengetik ini saya tertawa hahahahaha….

Satu hal yang saya dapatkan dari situasi ini adalah SAYA SENDIRI. Kenapa saya sendiri? Saya menemukan sebuah kesadaran. Ini salah satu kesadaran yang saya syukuri selain kesadaran lain yang akan saya ceritakan berikutnya. 

Lawan jenis ini rupanya membantu saya berhenti menjadi “bebal”

Ia, dengan caranya yang “nekat bodo” itu membantu saya menjadi peka pada kebutuhan saya sendiri. Kebutuhan akan penghargaan pada diri sendiri. Tentang memahami siapa saya saat ini dan apa yang seharusnya saya lakukan untuk menyenangkan dan memuliakan diri sendiri. Bahwa ketika saya tidak suka, saya harus mengatakan TIDAK SUKA. Bukan karena saya egois, namun lebih kepada kenyamanan saya sendiri. Bagaimana saya bisa membuat orang lain nyaman sementara diri sendiri saya buat tidak nyaman. 

Juga tentang membuka mata hati dan pikiran saya terhadap kalimat “satu kata dan satu perbuatan” itu sebaiknya selaras dengan realita yang saya jalani. Maka, beristirahatlah saya dengan tenang dari hal-hal gila. Hal-hal yang saya pikir sudah tidak efisien lagi saat ini. Kecuali sesekali menjadi alasan paling mujarab untuk membikin saya senyam senyum sendiri  saban hari. Ketika saya mengambil ingatan-ingatan lampau itu ke dalam arena pertunjukan pikiran saya. Berubah itu menyenangkan, teman.

Kesadaran lain muncul dua hari lalu. Ketika sahabat dan teman kecil saya telah pamit pulang dari kunjungannya yang tiba-tiba ke kos saya. 

Ketika SMA dulu, saya dikelompokan dalam sebuah kelas yang siswa/inya memiliki kapasitas “mengagumkan.” Di masa itu. 

Saya sempat panik. Lebih kepada protes. Alasannya adalah sebagai berikut:

1.       Sebenarnya saya minder. Makanya saya bilang saya sempat panik. Pemikiran bahwa saya tidak bisa apa-apa, bukan siapa-siapa dan tidak mampu berkompetisi sudah ada sejak lama. Menggenang jauh di alam bawah sadar saya. Terselubung dalam bentuk kata maupun perbuatan yang sama sekali tidak membangun diri saya sendiri. Saya menyalahkan sistem sosial dan lingkungan kita yang sampai kini mungkin masih sama. Yah, saya lahir dan besar dengan dijejali berbagai macam “perbandingan” bahwa karena Si A orang tuanya begini maka anaknya begini, Si B lebih baik dari Si C, Si Anu lebih pintar dan patuh dari Si Inu makanya dia juara kelas terus. Dan orang tua-tua itu tidak pernah menyadari bahwa itu salah satu jenis motivasi paling MENYESATKAN yang akhirnya saya buktikan sendiri.
(Meskipun karakter dan kemampuan saya tetap terlihat, shining like a diamond gitu kan hahahaha. Juga latar belakang orang tua yang hm terkadang saya malah merasa itu kutukan. Sehingga tidak bisa saya hindari jika sesekali saya diberi mandat yang mau tidak mau harus saya terima. Demi membuktikan saya anak orang tua saya, ketimbang membuktikan bahwa MEMANG SAYA BISA. Poor I’m, right? But it’s okay at least I’m growing up wkwkwkwk)

2.       Pemikiran idealis saya : “ini kenapa harus ada pengelompokan kelas begini? Yang pintar ke kelas INI. Yang tidak terlalu pintar ke kelas ITU. Yang biasa-biasa saja ke kelas INI ITU.” Bukankah ini sejenis pelecehan secara terang-terangan? Kenapa tidak memanggil satu-satu siswa/inya lalu ditanyai hendak memilih jurusan apa sesuai minat dan kemampuannya.

Susah payah saya akhirnya dapat lulus dari Bloody Hell Senior High School with embel-embel “Sekolah Unggulan” kawasan Indonesia Timur. Saat itu. Berdarah-darah, men… seriously, I mean it! Lulus dengan nilai rata-rata, ibaratnya ko kurang 0,01 ko su tidak lulus tuh! Hahahaha…. Tapi yang bikin saya bangga pada diri sendiri adalah: Meskipun saya pernah masuk dalam daftar merah alias siswa/i yang kemungkinan besar tidak akan bisa naik ke kelas III karena nilainya dibawah rata-rata. Tetapi saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk terus maju. Pada akhirnya saya naik kelas III dan LULUS tanpa UJIAN ULANG atau PENGULANGAN SETAHUN LAGI di KELAS III. Saya hampir saja bunuh diri karena takut tidak lulus. Sampai detik ini, pemikiran dangkal saya selalu menenangkan : Itu karena kau rajin berdoa pada Bunda Maria di Kapela. D*mn! hahahaha

Mood belajar saya naik turun, sama seperti kondisi perekonomian bangsa. Apa sih hahaha.. dari jaman sekulah saya lebih mencemaskan negara daripada diri sendiri. Fvck up! Hahahahhaa… 

“Kau itu Malas, Mete Seda. Bukan tidak bisa!” Ocehan Wali Kelas pujaan saya dulu, Ibu Ernesta Mola. Demi Tuhan, hatinya Ibu Erni kiranya tersusun dari butiran-butiran air mata surgawi maka tabah sekali beliu menghadapi manusia semacam kami. Satu orang macam saya saja sudah bisa bikin orang di rumah gila, apalagi lebih dari sepuluh orang ada di dalam kelas. Wkwkwkwkwk


Kemudian, dua hari lalu saya MENGERTI. Ini kesadaran lain yang saya maksudkan. Manusia digolongkan bukan tanpa alasan atau pengalaman. Ketika kita berada di lingkungan yang tidak dipenuhi tantangan dan masalah, hidup kita akan berjalan biasa saja. Kapasitas kita justru akan sangat membingungkan untuk menentukan “Siapa kita sebenarnya.” Kita memang harus terus mendapatkan masalah atau BIKIN MASALAH SEKALIAN (gue banget) supaya kita tahu sudah sampai mana kita sekarang ini, harus seperti bagaimana lagi supaya kita bisa lebih lagi. Break the limit!

Maka kepada Para Pengajar dan Kepala Sekolah SMAK SYURADIKARA Tahun ajaran 2003-2004, Pater Micahel Da Fretes yang entah sudah di mana saat ini. Yang sangat keras kepala menempatkan saya di Kelas 2Ipa2. Yang mengabaikan permohonan saya berkali-kali agar pindah ke kelas bahasa, karena saya tergila-gila dengan Puisi Chairil dan Mbelingnya Remi Silado. Saya mengucapkan Terima Kasih, sudah mengarahkan saya pada jalan yang seharusnya. Maaf kalian harus lama menunggu, kesadaran ini malah muncul delapan belas tahun kemudian. Hahahhaa… Lux Ex Scienta. I’m Proud to be My Self NOW!

Denpasar, 21 Januari 2016
Maria Pankratia Mete Seda
SYURADIKARA 2005




Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *