Desa Seraya, Karangasem
Tap… tap…tap… langkah pria paruh baya itu menggema di sepanjang hutan. Gentong yang disuunnya oleng ke kanan namun dengan sigap dikembalikan lurus di atas kepalanya. Tubuhnya yang legam basah oleh peluh. Siang membakar bahkan hingga ke ubun-ubun. Namun ia tetap bersemangat melanjutkan perjalanannya mencari air.
Air memang barang yang cukup sulit didapatkan di desa Seraya, Karangasem. Untuk mendapatkan satu gentong air yang isinya 5 liter mereka harus menempuh perjalanan sekitar 5 km ke hutan. Hal tersebut dirasa sangat sulit mengingat sebagian besar warga tidak ada yang punya kendaraan bermotor.
“Dulu kami pernah coba buat sumur bor, digali sampai kedalaman 45m juga tidak ada air yang keluar,” ujar Gd Suardana- Kelian Desa Seraya dengan mata menerawang. Iapun menjelaskan kesulitan air bukan hanya kini terasa namun sudah sejak dulu. Biasanya mereka mengambil air di pegunungan, namun semakin banyaknya orang yang hidup, semakin banyak air yang diperlukan. Sementara sumber mata airnya terbatas. Belum lagi tempatnya sangat sulit dijangkau. Hal tersebut dirasa sangat miris oleh petani jagung ini.
Menurut pria yang sering ‘nyambi’ kerja di Denpasar sebagai buruh ini, distribusi air yang tidak meratapun menjadi masalah besar di Seraya. Hingga saat ini kebutuhan air dipenuhi dengan menampung air di sebuah gentong berukuran besar. Kadang juga kalau petugas ABABI- program penyerataan air datang, mereka bisa menampung beberapa puluh liter di rumah masing- masing. Penyediaan air ini sendiri pertangkinya dikenakan biaya 60 ribu yang bisa mengisi satu gentong raksasa. Penduduknya yang berjumlah 123 KK itupun harus mengantri untuk mendapatkan jatah air.
“Bulan November-Desember itu paling sulit mendapatkan air. Kami benar- benar harus hemat air di bulan itu padahal hari biasa saja kami sudah hemat,” keluh Ni Nengah Sutama- warga desa Seraya. Ia menuturkan betapa PDAM kurang perhatian dengan desa Seraya. Memang sudah ada program pembuatan pipa- pipa untuk dialiri air. Namun pendistribusiannya sendiri belum merata. Pipa PDAM sendiri sering rusak. Dalam waktu 3 bulan setelah pemasangan, pipa tersebut sudah ada yang bocor. Perbaikannya membutuhkan waktu cukup lama sehingga warga kembali harus mencari air di hutan pegunungan.
Hal serupa juga dirasakan I Nyoman Kari yang juga warga Seraya. Menurutnya PDAM terkesan hanya menjalankan program alakadarnya. Kerusakan dibiarkan lama baru diperbaiki. Banyak juga pipa- pipa yang hanya terlihat saja tapi tidak dialiri air atau bahkan selesai pemasangannya. Di saat- saat seperti inilah sangat terasa warga desa Seraya membutuhkan sumber air yang gampang dipergunakan. Karena belakangan sumber mata air di gunung mulai berkurang lantaran terus menerus memenuhi kebutuhan warga.
Keadaan warga Seraya sangat kontras dengan kehidupan pariwisata di sekitar daerah candi kuning dan bagian bawah dekat pantai. Di kawasan wisata itu, para turis dapat berleha- leha merasakan berlimpahnya air. Distribusi air sendiri diakui oleh warga Seraya sangat timpang. Dimana daerah pegunungan seperti Seraya dan sekitarnya hanya dipandang sebelah mata khususnya dalam hal pendistribusian air.
“Saya sendiri merasa kami sangat membutuhkan air praktis. Ketakutan akan berkurangnya air tidak akan terlalu terasa,” jelas Gd Suardana lagi. Mungkin jika pemerintah dapat sama rata terkait pendistribusian air yang tidak hanya untuk kepentingan pariwisata saja, ketakutan- ketakutan warga Seraya tidak akan bergaung lagi, bukan? (linapw)
Leave a Reply